Thursday, May 22, 2014

Karet Tanaman Unggulan yang Terlupakan

Subulussalam-Tanaman karet merupakan salah satu sistem pertanian Tradisional yang hampir punah ditengah-tengah perkebunan kelapa sawit. Namun, pada akhir-akhir ini, kelapa sawit secara perlahan terus menjadi tanaman favorit petani di kota yang bersemboyan “Sada Kata itu”. pengembangan perkebunan kelapa sawit ini dapat ditemui di hampir seluruh penjuru daerah yang dimekarkan dari Aceh Singkil tahun 2007 itu. Sementara tanaman karet yang belakangan ini nyaris terlupakan di tengah-tengah gemerlap perkebunan kelapa sawit, padahal karet ternyata memiliki nilai ekonomis yang menjanjikan.

Investasi perkebunan kelapa sawit di Subulussalam selaras dengan potensi sumber daya alam yang ada di daerah tersebut. Selain lahan yang luas dengan potensi sumber daya alam seperti curah hujan, sinar matahari dan topografi sangat mendukung tumbuhnya tanaman perkebunan seperti kelapa sawit. Sungguh pun demikian, bagi petani mandiri atau petani tradisional tanaman karet, sebenarnya jauh lebih menguntungkan. Pasalnya, tanaman tersebut mempunyai kemandirian yaitu bisa disadap, diproses secara tradisional.

“Bahkan karet yang telah diproses bisa disimpan untuk kemudian dijual kapan diinginkan,” kata Nukman seorang petugas perkebunan kepada Koran ini Rabu (13/2) kemarin.Menjelaskan bahwa sebenarnya tidak semua hamparan tanah di Kota Subulussalam layak untuk tanaman kelapa sawit. Areal yang kemiringan tanahnya 45 derajat menurut Nukman lebih baik ditanami komoditas lain seperti karet. Sayangnya, lanjut Nukman, di Kota Subulussalam para petani tidak lagi tertarik mengembangkan tanaman karet karena tergiur dengan hasil kelapa sawit. Tak hanya itu, para pejabat dan orang-orang berduit di Subulussalam bahkan dari sejumlah daerah juga terus berpacu membuka perkebunan kelapa sawit.

Masyarakat merasa bahwa sawit lebih menjanjikan hasil yang lebih cepat dibandingkan karet. Hal inilah yang menjadi faktor karet seakan-akan menjadi komoditas yang terlupakan di negeri paling bungsu di Aceh tersebut.Padahal, kata Nukman, di era tahun 1990-an, tanaman Karet sebenarnya merupakan komoditi tradisional yang dilakoni rakyat Aceh Singkil khususnya Subulussalam. Kala itu, kata dia, pihaknya menjalankan program Unit Pengembangan Perkebunan (UPP) dan hasilnya cukup memuaskan. Namun karena pengaruh harga yang berfluktuasi sangat tajam, usaha perkaretan mulai ditinggalkan oleh petani perkebunan.

Dikatakan, sejarah perkebunan karet di daerah berbukit-bukit ini pun mulai merosot akhir dekade 2000-an dengan maraknya perkebunan kelapa sawit.
Sebenarnya, menurut Nukman prospek usaha karet ini dinilai jauh lebih menjanjikan dibanding kelapa sawit dan lebih stabil sehingga petani dapat lebih sejahtera karena mempunyai kemandirian. Sebab, lanjut Nukman, karet bisa disadap, diproses secara tradisional, dan disimpan untuk kemudian dijual kapan diinginkan. Sementara kelapa sawit dalam sehari saja setelah dipanen sudah membusuk. Selain itu, kata Nukman, untuk pengembangan kelapa sawit juga tidak terlepas dari pemupukan yang terus menerus ditambah perawatan lainnya.”

Wajib dipupuk, kalau tidak akan berpengaruh pada kualitas dan produksi buahnya,” kata Nukman.
Ini belumlah cukup, TBS yang telah dipanen akan mudah menyusut dan membusuk apabila tidak segera dijual ke pihak pabrik. Karena itu, kata Sarbika, bagi masyarakat pekebun karet, sebenarnya jauh lebih menguntungkan, karena mempunyai kemandirian. Selain itu, biaya perawatan yang harus dikeluarkan oleh petani perkebunan kelapa sawit dua kali lipat lebih tinggi dibanding dengan komoditas karet.

Sehingga, di segi memberdayakan masyarakat dengan kebun karet dinilai lebih menguntungkan. Keuntungan lain, tambah Nukman, pengembangan komoditas karet tidak begitu berpengaruh terhadap kelestarian alam di mana belakangan ini isu pemanasan global yang menjadi perhatian serius dunia. Karenanya, Nukman menilai dengan pengembangan karet, pemerintah dan masyarakat juga turut melakukan penghijauan.

Karena itu, Nukman menyarankan kepada pemerintah baik propinsi maupun pemko Subulussalam untuk menggalakkan kembali perkebunan karet dengan memotivasi masyarakat menggeluti usaha tersebut. Apalagi teknologi pembudidayaan dan penyadapan serta pengolahan karet sudah banyak dikuasai masyarakat, ditambah lahan di Subulussalam cukup ideal untuk tanaman tersebut sehingga sudah sewajarnya pembangunan perkebunan di arahkan ke sektor tersebut.

“Karena bagaimanapun prospek kelapa sawit di lapangan petani tetap saja mengeluh oleh harga TBS yang saban tahun berbanding terbalik dengan biaya perawatan seperti pupuk,” tandas Nukman.Intinya, pemerintah diharapkan dapat menggiatkan kembali petani karet dengan memberikan bantuan permodalan. Alasannya, jika usaha karet dibangun kembali, kesejahteraan dan keterlibatan masyarakat semakin dapat ditingkatkan.

Pemerintah harus berusaha membangun perkebunan sebagai penyangga utama perekonomian masyarakat di sana seperti yang pernah dijalankan pada era 1990-an dalam program Unit Pengembangan Perkebunan (UPP). Selain itu, Nukman mengingatkan bahwa tofografi wilayah Subulussalam kebanyakan perbukitan dan tak sedikit yang kemiringannya 45 sampai 100 derajat.(*)


Sumber :  http://www.rakyataceh.com/print.php?newsid=31000

0 comments: