Thursday, December 5, 2013

MAKALAH KERJASAMA AN KONFLIK MASYARAKAT TANI


Makalah sosiologi pertanian



KERJASAMA DAN KONFLIK MASYARAKAT TANI


OLEH :


HENGKI HERMAWAN
  1205101050067



PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM - BANDA ACEH
2013



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Sebagian besar penduduk pedesaan di Indonesia menggantungkan hidupnya dari bidang pertanian. Oleh karena itu, proses transformasi pertanian dapat dikatakan sebagai proses transformasi pedesaan. Proses ini menyentuh seluruh lapisan masyarakat di penjuru Indonesia. Masalah pertanian merupakan masalah pokok bagi masyarakat Indonesia. Keberhasilan di sektor pertanian merupakan indikator penting untuk mengukur tingkat kesejahteraan kehidupan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Pertanian merupakan karakteristik pokok dari umumnya desa-desa di dunia ini. Di lihat dari eksistensinya desa merupakan fenomena yang muncul dengan mulai dikenalnya cocok tanam di dunia ini.
 Mengingat pentingnya faktor pertanian bagi keberadaan desa maka hal ini menjadi sebuah keniscayaan untuk memahami masyarakat desa. Dalam konteks ini pertanian dan desa merupakan bagian yang tak terpisahkan satu-sama lain.
Faktor keterkaitan hubungan masyarakat pedesaan salah satunya yang cukup dominan adalah dibentuk oleh sistem pertanian itu sendiri. Terbukti, dalam kegiatan pertanian masyarakat pedesaan seringkali melakukan gotong royong. Kegiatan ini merupakan suatu bentuk saling tolong menolong, saling membantu dan saling melengkapi yang berlaku di daerah pedesaan.
Gotong royong atau tolong menolong mengandung nilai yang sangat tinggi dalam kehidupan bermasyarakat yang merupakan ciri khas dari kehidupan masyarakat pedesaan yang dominan masyarakat petani. Gotong royong atau tolong menolong merupakan suatu sistem pengerahan tenaga tambahan dari luar kalangan keluarga untuk membantu kekurangan tenaga pada saat tertentu dalam lingkaran aktifitas bercocok tanam diladang, maupun dalam kegiatan-kegiatan lainnya yang bersifat positif.
Sistem gotong royong di Desa Banjar Timur seolah-olah sudah menyatu dengan pola kehidupan masyarakat. Sebagai bentuk kerjasama antara individu dan antar kelompok membentuk status norma saling percaya untuk melakukan kerjasama dalam menangani permasalahan yang menjadi kepentingan bersama. Bentuk kerjasama gotong royong ini merupakan salah satu bentuk solidaritas sosial.
Untuk memelihara nilai-nilai solidaritas sosial dan partisipasi masyarakat secara sukarela, maka perlu ditumbuhkan dari interaksi sosial yang berlangsung karena ikatan kultural. Sehingga memunculkan kebersamaan komunitas yang unsur-unsurnya meliputi: seperasaan, sepenanggungan, dan saling butuh. Pada akhirnya menumbuhkan kembali solidaritas sosial.
Praktik semacam inilah yang menjadi pendorong terciptanya hubungan yang baik bahkan persaudaran, kekerabatan, dan kerukunan pun dapat terwujud secara harmonis. Dalam konteks ini pola kehidupan masyarakat petani sarat dengan nilai-nilai kekerabatan dan familisme sehingga hubungan-hubungan di antara warga sangat koperatif. Pada intinya sektor pertanian merupakan faktor terpenting bagi terbentuknya tatanan sosial kemasyarakatan, sehingga masyarakat petani di pedesaan dapat membangun hubungan sosial yang lebih erat di antara kerabat.
Pertanian memiliki karateristik tersendiri dibandingkan dengan sektor lain. Keterkaitan yang erat terhadap sumberdaya lahan dan iklim menjadikan pengembangan pertanian harus melihat dua faktor tersebut secara teknis. Meski demikian faktor sosial dan politik agraria tidak bisa lepas dalam pengembangan sektor pertanian terutama di pedesaan.
Proses pembangunan pasca era Orda Baru, masyarakat petani di pedesaan justru semakin bertambah miskin dan tidak berdaya. Bahkan sampai saat ini rakyat hanya dijadikan sebagai obyek pembangunan bukan sebagai subyek utama pembangunan. Gejala kemiskinan merupakan masalah sosial yang sering ditemui di pedesaan.
Jika kita pahami secara mendalam faktor kemiskinan dapat kita lihat dari dua perspektif yaitu secara kultural maupun struktural. Secara kultural (kemiskinan kultural) dalam masyarakat pedesaan sebenarnya lebih disebabkan oleh sikap apatis dan frustasi terhadap kemiskinan struktural itu sendiri. Di sisi lain dibuktikan dengan sikap atau perilaku boros, dan kebiasaan berfoya-foya (misalnya dalam berbelanja kebutuhan hidup yang berlebihan).
Hal ini merupakan gejala yang menimpa individu petani pedesaan yang sulit untuk digeneralisir. Berbagai individu maupun kelompok petani pedesaan telah terjadi mobilitas sosial vertikal (kenaikan status) misalnya buruh tani menjadi pemilik, seakan menggambarkan kondisi sosiologis masyarakat pedesaan yang tidak sepenuhnya hidup dengan budaya miskin. Mereka tidak mampu mengembangkan kemampuan beradaptasi terhadap berbagai perubahan alam dan budaya. Justeru kemudian stigma pasrah dan pesimis yang melekat pada diri mereka. Pada dasarnya mereka tidak mempunyai etos berupa sikap hidup progresif.
Oleh karena itu kemiskinan masyarakat petani pedesaan disebabkan oleh sikap dan budaya mereka sendiri. Selama ini setiap ada program pengentasan kemiskinan desa baik bantuan kredit bergulir maupun bantuan hibah selalu memprioritaskan perubahan pola pikir, budaya serta perilaku ekonomi petani.
Secara struktural, terjadinya kemiskinan itu disebabkan oleh kebijakan pemerintah. Dalam konteks ini kebijakan pemerintah cenderung menghegemoni dan mengkooptasi petani. Faktanya kebijakan pemerintah kurang memerhatikan rakyat bahkan menggusur kepentingan rakyat sehingga petani merasa tersubordinasi dan termarjinalkan. Dikotomi struktural di tingkat pemerintahan antara kelas atas dan kelas bawah secara faktual telah memperkokoh hegemoni elit penguasa terhadap rakyatnya.
Ini bermula dari sebuah paradigma yang dibangun pemerintah tentang sistem pembangunan yang menekankan pada sektor pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh investasi modal asing secara besar-besaran, sehingga kegiatan ekonomi yang menjadi prioritas adalah kegiatan industrialisasi menengah dan besar yang cenderung mampu mendatangkan devisa. Industri yang dikembangkan tidak berbasis atau bertumpu pada sektor pertanian di mana sebagian besar rakyat berada pada sektor ini. Hasil akhirnya sudah kita ketahui secara bersama bahwa kemudian akses dan aset hanya dimiliki oleh segelintir orang yaitu para penguasa dan pengusaha.
Dalam konteks ini kebijakan pemerintah tentang pembangunan pertanian dan pedesaan masih sangat lambat dan kurang perpihak pada petani dan komunitas desa. Pada intinya kemiskinan petani di pedesaan itu disebabkan oleh faktor struktural dan institusi sosial. Sehingga petani menjadi korban dari ketidakadilan struktural, petani tersubordinasi oleh dominasi dan hegemoni pemerintah.
Indonesia merupakan negara agraris, sehingga tidak jarang konflik yang terjadi di Indonesia adalah konflik dalam hal memperebutkan tanah sebagai salah satu lahan produksi yang menunjang kehidupan manusia dan merupakan salah satu faktor penentu kesejahteraan masyarakat di dalam suatu negara.
Konflik agraris ini bukan hanya terjadi antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, tetapi juga bisa terjadi antara kelompok dengan kelompok karena sama-sama merasa tanah tersebut menjadi hak kepemilikan mereka.
Masalah-masalah yang serius dihadapi dalam sektor pertanian semakin menumpuk di antaranya pemilikan lahan yang semakin mengecil, akses terhadap input pertanian yang semakin mahal, biaya transaksi yang terus melambung, dan kelembagaan ekonomi yang tidak pernah berpihak kepada petani. Akibatnya posisi tawar masyarakat desa sangat lemah terutama waktu menjual hasil produksi usaha taninya. Mereka selalu berada dalam posisi yang dirugikan dan menjadikan mereka semakin miskin dan tidak berdaya.
Kondisi demikian semakin tak terelakkan di kalangan petani pedesaan. Di samping timbulnya masyarakat petani miskin juga akan memperlambat proses perubahan sosial. Dalam konteks ini perubahan dimaksud yakni: pertama, adanya deprivasi relatif, yaitu persepsi seorang pelaku atas kesenjangan antara nilai harapan dan nilai kemampuannya. Ini adalah celah antara apa yang orang yakini sebagai haknya dan apa yang mereka pikir mereka mampu memperoleh dan mempertahankannya. Deprivasi relatif seringkali menyebabkan frustrasi yang mengarah kepada agresi, dan frustrasi ini menciptakan potensi kekerasan kolektif (agresi). Dalam hal ini deprivasi relatif merupakan suatu potensi bagi kerjasama kolektif.
Kedua, adanya dislokasi, yaitu perasaan tidak punya tempat dalam tatanan sosial yang sedang berkembang. Ketiga, disorientasi, yaitu perasaan seperti tidak punya pegangan atau tujuan hidup akibat tidak ada lagi yang bisa dipertahankan. Keempat, negativisme, yaitu perasaan yang mendorong ke arah pandangan yang serba negatif kepada tatanan yang baru berkembang dengan berbagai sikap tidak percaya, curiga, bermusuhan, melawan, dan sebagainya. Kondisi demikian yang membuat laju perubahan sosial cenderung berjalan mundur.
Perubahan itu memang menjadi implikasi logis dari proses industrialisasi ataupun modernisasi terutama menyangkut proses penyempitan lahan dan masuknya ekonomi uang ke pedesaan yang mempengaruhi pergeseran struktur sosial yang dapat disejajarkan dengan proses individualisasi dan komersialisasi. Masyarakat pada hakikatnya merespons perubahan tersebut walaupun ternyata respons itu tidak mendapat tanggapan serius dari pemerintah setempat khususnya dalam menghadapi pihak luar sehingga pada akhirnya hak-hak mereka menjadi terbatas, kehilangan sumber ekonomi, dan pergeseran nilai-nilai sosial.
Di samping adanya ketimpangan sosial, ekonomi, juga semakin meningkatnya angka kemiskinan penduduk desa. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin di Indonesia memang berfluktuasi dari tahun ke tahun. Namun pada tahun 2006 jumlah penduduk miskin di Indonesia sebesar 39,05 juta (17,75 persen). Di bandingkan dengan penduduk miskin pada tahun 2005 yang berjumlah 35,10 juta (15,97 persen), berarti jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 3,95 juta. Pertambahan penduduk miskin di daerah pedesaan sedikit lebih tinggi dari pada daerah perkotaan.
B. TUJUAN PENULISAN
            Penulisan dari makalah ini bertujuan untuk mengetahui sistem – sistem kerjasama yang ada pada masyarakat tani serta konflik – konflik yang terjadi didalam masyarakat tani di Indonesia.









                      

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Teori kerjasama menurut Roucek dan Warren berarti bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan bersama dan merupakan suatu proses yang paling dasar. Kerjasama merupakan sutau bentuk proses social dimana didalamnya terdapat aktifitas tertentu yang duitujukan untuk mencapai tujuan bersama dengan saling membantu dan saling memahami terhadap aktifitas masing-masing.
Kerjasama atau belajar bersama adalah proses beregu (berkelompok) di mana anggota-anggotanya mendukung dan saling mengandalkan  untuk mencapai suatu hasil mufakat. Ruang kelas suatu tempat yang sangat baik untuk membangun kemampuan kelompok (tim), yang Anda butuhkan kemudian di dalam kehidupan.
Menurut Soejono Soekamto (1987: 278) dalam Anjawaningsih (2006) menerangkan bahwa kerjasama merupakan ”Suatu kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama oleh lebih dari satu orang. Kerjasama bisa bermacam-macam bentuknya, namun semua kegiatan yang dilakukan diarahkan guna mewujudkan tujuan bersama.” Sesuai dengan kegiatannya, maka kegiatan yang terwujud ditentukan oleh suatu pola yang disepakati secara besama-sama. Misalnya kerjasama dibidang pendidikan, kerjasama ini tentunya dilakukan oleh orang-orang yang berada dilingkungan pendidikan yang sama-sama memiliki pandangan dan tujuan yang sama.
Menurut Zainudin (2009), kerjasama merupakan kepedulian satu orang atau satu pihak dengan orang atau pihak lain yang tercermin dalam suatu kegiatan yang menguntungkan semua pihak dengan prinsip saling percaya, menghargai dan adanya norma yang mengatur, makna kerjasama dalam hal ini adalah kerjasama dalam konteks organisasi, yaitu kerja antar anggota organisasi untuk mencapai tujuan organisasi (seluruh anggota). Menurut Nardjana (1994), konflik adalah akibat keadaan dimana keinginan atau kehendak yang berbeda atau berlawanan antara satu dengan yang lain, sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu.
Menurut Killman dan Thomas (1978), konflik merupakan situasi dimana terdapat ketidakcocokan antar nilai atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik yang ada dalam diri individu maupun dalam hubungannya dengan orang lain. Kondisi yang telah dikemukakan tersebut dapat mengganggu bahkan menghambat tercapainya emosi atau stres yang mempengaruhi efisiensi dan produktivitas kerja (Wijono,1993, p.4).
Sehingga dari pengertian konflik diatas dapat disimpulkan bahwa konflik adalah merupakan suatu keadaan dari akibat adanya pertentangan antara kehendak, nilai atau tujuan yang ingin dicapai yan menyebabkan suatu kondisi tidak nyaman baik didalam diri individu maupun antar kelompok.














BAB III
PEMBAHASAN

A.    Kerja Sama Dalam Masyarakat Tani
Suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai suatu atau beberapa tujuan bersama. Bentuk kerja sama tersebut ber-kembang apabila orang dapat digerakan untuk mencapai suatu tujuan bersama dan harus ada kesadaran bahwa tujuan tersebut di kemudian hari mempunyai manfaat bagi semua. Juga harus ada iklim yang menyenangkan dalam pembagian kerja serta balas jasa yang akan diterima. Dalam perkembangan selanjutnya, keahlian-keahlian tertentu diperlukan bagi mereka yang bekerja sama supaya rencana kerja samanya dapat terlaksana dengan baik.
Kerja sama timbul karena orientasi orang-perorangan terhadap kelompoknya (in-group-nya) dan kelompok lainya ( out-group-nya). Kerja sama akan bertambah kuat apabila ada hal-hal yang menyinggung anggota perorangan lainnya.
Fungsi Kerjasama digambarkan oleh Charles H.Cooley ”kerjasama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut; kesadaran akan adanya kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta penting dalam kerjasama yang berguna”
Dalam teori-teori sosiologi dapat dijumpai beberapa bentuk kerjasama yang biasa diberi nama kerja sama (cooperation). Kerjasama tersebut lebih lanjut dibedakan lagi dengan:
  1. Kerjasama Spontan (Spontaneous Cooperation) : Kerjasama yang serta merta
  2. Kerjasama Langsung (Directed Cooperation) : Kerjasama yang merupakan hasil perintah atasan atau penguasa
  3. Kerjasama Kontrak (Contractual Cooperation) : Kerjasama atas dasar tertentu
  4. Kerjasama Tradisional (Traditional Cooperation) : Kerjasama sebagai bagian atau unsur dari sistem sosial.
Ada 5 bentuk kerjasama : 
  1. Kerukunan yang mencakup gotong-royong dan tolong menolong
  2. Bargaining, Yaitu pelaksana perjanjian mengenai pertukaran barang-barang dan jasa-jasa antara 2 organisasi atau lebih
  3. Kooptasi (cooptation), yakni suatu proses penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi sebagai salah satu cara untuk menghindari terjadinya kegoncangan dalam stabilitas organisasi yang ber-sangkutan
  4. Koalisi (coalition), yakni kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan-tujuan yang sama. Koalisi dapat menghasilkan keadaan yang tidak stabil untuk sementara waktu karena dua organisasi atau lebih tersebut kemungkinan mempunyai struktut yang tidak sama antara satu dengan lainnya. Akan tetapi, karenamaksud utama adalah untuk mencapat satu atau beberapa tujuan bersama, maka sifatnnya adalah kooperatif.
  5. Joint venture, yaitu kerjasama dalam pengusahaan proyek-proyek tertentu.
Kelompok Tani sebagai Wahana Kerjasama
Kelompoktani adalah kelembagaan petani/peternak/pekebun yang dibentuk atasdasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi dan sumberdaya) dan keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkanusaha anggotanya.
Kelompoktani ditumbuhkembangkan dari, oleh dan untuk petani yang saling mengenal, akrab, saling percaya, mempunyai kepentingan dalam berusahatani, kesamaan dalam tradisi/pemukiman/hamparan usahatani.
Dalam pengembangannya kelompoktani memiliki tiga fungsi yaitu sebagai kelas belajar, wadah kerjasama dan unit produksi. Sebagai wahana kerjasama, usahatani yang dilaksanakan oleh masing masing anggota kelompoktani, secara keseluruhan harus dipandang sebagai satu kesatuan usaha yang dapat dikembangkan untuk mencapai skala ekonomi, baik dipandang dari segi kuantitas, kualitas maupun kontinuitas
Dalam rangka pengembangan kelompoktani sebagai wahana kerjasama maka
diperlukan bimbingan dari penyuluh pertanian secara berkelanjutan. Olehkarena itu, diperlukan materi penyuluhan pertanian yang berkaitan dengan penguatan kelompoktani sebagai wahana kerjasama.
 Dalam rangka peningkatankemampuan kelompok tani sebagai wahana kerjasama meliputi:
1. Menciptakan suasana saling kenal, saling percaya mempercayai dan selalu berkeinginan untuk bekerjasama;
2. Menciptakan suasana keterbukaan dalam menyatakan pendapat dan
pandangan diantara anggota untuk mencapai tujuan bersama;
3. Mengatur dan melaksanakan pembagian tugas/kerja di antara sesama
anggota sesuai dengan kesepakatan bersama;
4. Mengembangkan kedisiplinan dan rasa tangung jawab di antara sesame anggota;
5. Merencanakan dan melaksanakan musyawarah agar tercapai kesepakatan
yang bermanfaat bagi anggota;
6. Mentaati dan melaksanakan kesepakatan yang menghasilkan bersama
dalam kelompok maupun pihak lain;
7. Menjalin kerjasama/kemitraan usaha dengan pihak penyedia sarana
produksi, pengolahan pemasaran hasil dan atau permodalan.

A.      Konflik dalam Masyarakat Tani
                  Konflik merupakan hal yang biasa terjadi di masyarakat sebagai akibat adanya interaksi sosial antar masyarakat. Penyebab terjadinya konflik antar petani dapat berupa  :
(a) Kurangnya kesadaran masyarakat untuk mematuhi kesepakatan yang telah dibuat
(b) Perbedaan pemahaman akan pentingnya kesepakatan yang telah dibuat
 (c) Perbedaan sikap dan kepribadian
 (d) Perubahan keadaan yang mendadak.
          Salah satu konflik yang sering muncul pada masyarakat tani adalah konflik komunikasi.  Konflik komunikasi dalam bidang pertanian adalah terjadinya suatu keadaan, dimana komponen-komponen masyarakat tidak berfungsi sebagaimana mestinya atau terintegrasi secara tidak sempurna. Untuk itu penanganan masalah konflik komunikasi dalam bidang pertanian dapat mengacu pada teori konflik dengan penegasan sebagai kumpulan ide dalam memajukan gerakan-gerakan sosial atau untuk mempertahankan institusi sosial. Ideologi lebih merupakan sebuah sistem yang menjadi pedoman praktis.
            Tiga bentuk ideologi pokok teori konflik yang muncul pada abad ke-19 diantaranya adalah sosialisme Marxis dan dua jenis sosial-Darwinisme. Hal ini merupakan hal yang sangat penting dalam memahami teori konflik untuk membedakan ideologi dengan teori sains. Satu hal lagi dalam ideologi pokok teori konflik pada abad ke-19 menjadi ranah yang luar biasa dan masalah-masalah vital karena akhirnya sains sosial dapat mengatasi kondisi ini.
            Banyak faktor yang telah menyebabkan terjadinya konflik komunikasi dalam bidang pertanian. Misalkan perbedaan pendirian dan keyakinan setiap petani akan menyebabkan konflik antar individu. Dalam konflik-konflik seperti ini terjadilah bentrokan-bentrokan pendirian, dan masing-masing pihakpun berusaha membinasakan lawannya. Konflik tidak selalu diartikan sebagai pembinasaan fisik, tetapi bisa pula diartikan dalam bentuk pemusnahan simbolik atau melenyapkan pikiran-pikiran lawan yang tak disetujuinya.
            Disamping perbedaan pendirian, perbedaan kebudayaan maupun perbedaan status sosial dapat menimbulkan konflik, sehingga memiliki kesenjangan yang relatif besar. Hal tersebut juga dapat memicu konflik apabila tidak dilakukan komunikasi dengan baik yang tidak hanya menimbulkan konflik antar individu, tetapi juga antar kelompok tani.
            Kesenjangan tersebut sebagai pemicu terjadinya konflik komunikasi sehingga upaya penyebarluasan teknologi pertanian mengalami hambatan-hambatan secara sosial, karena tidak tercapainya kesamaan persepsi antara komunikator dengan komunikan. Untuk melakukan persamaan persepsi perlu pengembangan wawasan dengan bobot teori pendukung sebagai upaya saling pengertian dan pemahaman.
            Dalam teori konflik dinyatakan bahwa pola kebudayaan yang berbeda akan menimbulkan pola-pola kepribadian dan pola-pola prilaku yang berbeda pula dalam kelompok tani yang luas, sehingga apabila terjadi konflik-konflik karena alasan ini, konflik-konflik itu akan bersifat luas dan karenanya akan bersifat konflik antar kelompok tani.
            Kepentingan yang berbeda-bedapun memudahkan terjadinya konflik. Mengejar tujuan untuk kepentingan masing-masing yang berbeda-beda, maka kelompok tani-kelompok tani akan bersaing dan berkonflik untuk memperebutkan kesempatan dan sarana. Kepentingan agen penyuluhan pertanian, para sumber teknologi (peneliti) dan kepentingan petani kadang-kadang berbeda dalam hal persepsi terhadap sebuah program.
                  Perbedaan pendirian, budaya, kepentingan, dan sebagainya sering terjadi pada situasi-situasi perubahan sosial. Dan, perubahan-perubahan sosial ini secara tidak langsung dapat dilihat sebagai penyebab juga terjadinya konflik-konflik sosial dalam masyarakat. Perubahan-perubahan sosial yang cepat inilah yang akan mengakibatkan berubahnya sistem nilai di dalam masyarakat, dan pada akhirnya akan menyebabkan perbedaan-perbedaan pendirian di dalam masyarakat.
           Jadi, konflik dalam pembangunan pertanian pedesaan sebagai upaya menanggulangi keterbelakangan dan kemiskinan petani adalah sebuah proses yang sifatnya disosiatif. Namun, sekalipun sering berlangsung dengan dengan keras dan tajam, proses-proses konflik sering pula mempunyai akibat-akibat yang positif bagi masyarakat. Positif tidaknya konflik tergantung dari persoalan yang dipertentangkan, dan tergantung pula dari struktur sosial yang menjadi ajang berlangsungnya konflik.
            Akibat positif dari konflik adalah bertambahnya solidaritas intern dan rasa in-group suatu kelompok tani. Apabila terjadi pertentangan antar kelompok tani, solidaritas anggota-anggota di dalam masing-masing kelompok tani, yang pada situasi normal sulit dikembangkan, akan langsung meningkat pesat saat terjadinya konflik dengan pihak luar. Akibat negatif dari terjadinya konflik yaitu terjadinya peperangan yang akan mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan harta.
          Konflik antar kelompok tani juga akan memudahkan terjadinya perubahan dan perubahan kepribadian individu. Apabila terjadi pertentangan antara dua kelompok tani yang berlainan, maka individu-individu akan mudah mengubah kepribadiannya untuk mengidentifikasikan dirinya secara penuh dengan kelompok taninya.
           Konflik akan berakhir dengan berbagai kemungkinan. Apabila kekuatan masing-masing pihak yang berkonflik adalah berimbang maka kemungkinan besar akan terjadi usaha akomodasi oleh kedua belah pihak. Akan tetapi, apabila kekuatan yang tengah berkonflik tidak berimbang maka akan terjadi penguasaan (dominasi) oleh salah satu pihak yang kuat terhadap lawannya.
            Disamping itu, konflik dapat juga dianggap sebagai salah satu fenomena perilaku yang menyimpang dalam kehidupan bermasyarakat. Yang dimaksud dengan prilaku menyimpang ini adalah prilaku dari masyarakat yang dianggap tidak sesuai dengan kebiasaan, tata aturan atau norma sosial yang berlaku. Secara sederhana, orang dapat dikatakan menyimpang apabila menurut anggapan sebagian besar masyarakat bahwa prilaku atau tindakannya diluar kebiasaan, adat istiadat, aturan, nilai-nilai, atau norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat.
          Pemahaman mengenai bagaimana seseorang atau sekelompok tani orang dapat berprilaku menyimpang dapat dipelajari dari berbagai perspektif teoritis. Ada dua perspektif yang bisa digunakan untuk memahami sebab-sebab dan latar belakang seseorang atau sekelompok tani orang berprilaku menyimpang, yaitu perspektif individualistik dan teori-teori sosial. Kedua perspektif ini dalam penerapannya kadang kala tidak dapat dibedakan dengan tegas karena keduanya memiliki penjelasan yang komprehensif dan saling tumpang tindih. Tetapi, sangat baik jika menggunakan kedua perspektif ini untuk menjelaskan fenomena tentang terjadinya penyimpangan. Salah satu teori yang berperspektif sosiologi adalah teori konflik.
             Teori konflik lebih menitikberatkan analisisnya pada asal usul terciptanya suatu aliran atau tertib social. Teori ini tidak bertujuan untuk menganalisis asal usul terjadinya pelanggaran peraturan atau latar belakang seseorang berprilaku menyimpang. Perspektif konflik lebih menekankan sifat pluralitik dari masyarakat dan ketidakseimbangan distribusi kekuasaan yang terjadi di antara berbagai kelompok taninya. Karena kekuasaan yang dimiliki oleh kelompok tani-kelompok tani elite, maka kelompok tani-kelompok tani itu juga memiliki kekuasaan untuk menciptakan peraturan, khususnya hukum yang dapat melayani kepentingan-kepentingan mereka. Dalam hubungannya dengan hal ini, maka perspektif konflik memahami masyarakat sebagai kelompok tani-kelompok tani dengan berbagai kepentingan yang bersaing dan akan cenderung saling berkonflik. Melalui persaingan itu, maka kelompok tani-kelompok tani dengan kekuasaan yang berlebih akan menciptakan hukum dan aturan-aturan yang menjamin kepentingan mereka dimenangkan.
           Dalam struktur besar atau kecil, konflik dalam suatu kelompok tani dapat merupakan indikator adanya suatu hubungan yang sehat. Pada dasarnya, Coser tidak melihat konflik hanya dalam pandangan negatif saja. Perbedaan antara majikan dan buruh, perawat dan dokter merupakan peristiwa normal yang sebenarnya dapat memperkuat struktur yang terbentuk lewat hubungan-hubungan sosial. Kelompok tani yang memperbolehkan konflik sebenarnya adalah kelompok tani yang memiliki kemungkinan yang rendah dari ancaman ledakan-ledakan yang akan menghancurkan struktur sosial. Di dalam situasi demikian, konflik biasanya tidak berkembang disekitar nilai-nilai inti dan dengan demikian dapat membantu memperkuat struktur. Coser sangat menentang pandangan bahwa tidak adanya konflik dapat dipakai sebagai indikator dari ”kekuatan dan stabilitas suatu hubungan”.
              Apa yang disumbangkan Coser dalam bentuk karya tentang konflik dapat digambarkan sebagai fungsionalisme konflik (conflict functionalism). Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa konflik dan konsensus, integrasi dan perpecahan adalah proses fundamental yang walau dalam porsi dan campuran yang berbeda, merupakan bagian dari setiap sistem sosial. Disarikan dari beberapa bahan bacaaN.

DAFTAR PUSTAKA

Ø  Hernanto, F. 1995. Ilmu usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta.
Ø  Marzuki S. 2001. Pembinaan kelompok. Pusat Penerbit Universitas Terbuka.
          Jakarta.
Ø  Nazir, M. 1999. Metode penelitian.Ghalia. Jakarta.
Ø  Santoso S. 1992. Dinamika kelompok. Bumi Aksara Jakarta.
Ø  Santoso S. 2004. Dinamika kelompok. Edisi Revisi Cetakan 1.Bumi Aksara
          Jakarta.
Ø  Suhardiyono, L. 1992. Penyuluhan petunjuk bagi penyuluhan pertanian.
          Erlangga. Jakarta.
Ø  Suparman, I. A. 1990. Statistik sosial.Rajawali pres, Jakarta.

0 comments: