Makalah sosiologi pertanian
OLEH :
HENGKI HERMAWAN
1205101050067
PROGRAM
STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
SYIAH KUALA
DARUSSALAM
- BANDA ACEH
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Sebagian besar penduduk pedesaan di Indonesia menggantungkan
hidupnya dari bidang pertanian. Oleh karena itu, proses transformasi pertanian
dapat dikatakan sebagai proses transformasi pedesaan. Proses ini menyentuh
seluruh lapisan masyarakat di penjuru Indonesia. Masalah pertanian merupakan
masalah pokok bagi masyarakat Indonesia. Keberhasilan di sektor pertanian
merupakan indikator penting untuk mengukur tingkat kesejahteraan kehidupan
masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Pertanian merupakan karakteristik pokok dari umumnya
desa-desa di dunia ini. Di lihat dari eksistensinya desa merupakan fenomena
yang muncul dengan mulai dikenalnya cocok tanam di dunia ini.
Mengingat pentingnya
faktor pertanian bagi keberadaan desa maka hal ini menjadi sebuah keniscayaan
untuk memahami masyarakat desa. Dalam konteks ini pertanian dan desa merupakan
bagian yang tak terpisahkan satu-sama lain.
Faktor keterkaitan hubungan masyarakat pedesaan salah
satunya yang cukup dominan adalah dibentuk oleh sistem pertanian itu sendiri.
Terbukti, dalam kegiatan pertanian masyarakat pedesaan seringkali melakukan
gotong royong. Kegiatan ini merupakan suatu bentuk saling tolong menolong,
saling membantu dan saling melengkapi yang berlaku di daerah pedesaan.
Gotong royong atau tolong menolong mengandung nilai yang
sangat tinggi dalam kehidupan bermasyarakat yang merupakan ciri khas dari
kehidupan masyarakat pedesaan yang dominan masyarakat petani. Gotong royong
atau tolong menolong merupakan suatu sistem pengerahan tenaga tambahan dari
luar kalangan keluarga untuk membantu kekurangan tenaga pada saat tertentu
dalam lingkaran aktifitas bercocok tanam diladang, maupun dalam
kegiatan-kegiatan lainnya yang bersifat positif.
Sistem gotong royong di Desa Banjar Timur seolah-olah sudah
menyatu dengan pola kehidupan masyarakat. Sebagai bentuk kerjasama antara
individu dan antar kelompok membentuk status norma saling percaya untuk
melakukan kerjasama dalam menangani permasalahan yang menjadi kepentingan bersama.
Bentuk kerjasama gotong royong ini merupakan salah satu bentuk solidaritas
sosial.
Untuk memelihara nilai-nilai solidaritas sosial dan
partisipasi masyarakat secara sukarela, maka perlu ditumbuhkan dari interaksi
sosial yang berlangsung karena ikatan kultural. Sehingga memunculkan
kebersamaan komunitas yang unsur-unsurnya meliputi: seperasaan, sepenanggungan,
dan saling butuh. Pada akhirnya menumbuhkan kembali solidaritas sosial.
Praktik semacam inilah yang menjadi pendorong terciptanya
hubungan yang baik bahkan persaudaran, kekerabatan, dan kerukunan pun dapat
terwujud secara harmonis. Dalam konteks ini pola kehidupan masyarakat petani
sarat dengan nilai-nilai kekerabatan dan familisme sehingga hubungan-hubungan
di antara warga sangat koperatif. Pada intinya sektor pertanian merupakan
faktor terpenting bagi terbentuknya tatanan sosial kemasyarakatan, sehingga
masyarakat petani di pedesaan dapat membangun hubungan sosial yang lebih erat
di antara kerabat.
Pertanian memiliki karateristik tersendiri dibandingkan
dengan sektor lain. Keterkaitan yang erat terhadap sumberdaya lahan dan iklim
menjadikan pengembangan pertanian harus melihat dua faktor tersebut secara
teknis. Meski demikian faktor sosial dan politik agraria tidak bisa lepas dalam
pengembangan sektor pertanian terutama di pedesaan.
Proses pembangunan pasca era Orda Baru, masyarakat petani di
pedesaan justru semakin bertambah miskin dan tidak berdaya. Bahkan sampai saat
ini rakyat hanya dijadikan sebagai obyek pembangunan bukan sebagai subyek utama
pembangunan. Gejala kemiskinan merupakan masalah sosial yang sering ditemui di
pedesaan.
Jika kita pahami secara mendalam faktor kemiskinan dapat
kita lihat dari dua perspektif yaitu secara kultural maupun struktural. Secara
kultural (kemiskinan kultural) dalam masyarakat pedesaan sebenarnya lebih
disebabkan oleh sikap apatis dan frustasi terhadap kemiskinan struktural itu
sendiri. Di sisi lain dibuktikan dengan sikap atau perilaku boros, dan
kebiasaan berfoya-foya (misalnya dalam berbelanja kebutuhan hidup yang
berlebihan).
Hal ini merupakan gejala yang menimpa individu petani
pedesaan yang sulit untuk digeneralisir. Berbagai individu maupun kelompok
petani pedesaan telah terjadi mobilitas sosial vertikal (kenaikan status)
misalnya buruh tani menjadi pemilik, seakan menggambarkan kondisi sosiologis
masyarakat pedesaan yang tidak sepenuhnya hidup dengan budaya miskin. Mereka
tidak mampu mengembangkan kemampuan beradaptasi terhadap berbagai perubahan
alam dan budaya. Justeru kemudian stigma pasrah dan pesimis yang melekat pada
diri mereka. Pada dasarnya mereka tidak mempunyai etos berupa sikap hidup
progresif.
Oleh karena itu kemiskinan masyarakat petani pedesaan
disebabkan oleh sikap dan budaya mereka sendiri. Selama ini setiap ada program
pengentasan kemiskinan desa baik bantuan kredit bergulir maupun bantuan hibah
selalu memprioritaskan perubahan pola pikir, budaya serta perilaku ekonomi
petani.
Secara struktural, terjadinya kemiskinan itu disebabkan oleh
kebijakan pemerintah. Dalam konteks ini kebijakan pemerintah cenderung
menghegemoni dan mengkooptasi petani. Faktanya kebijakan pemerintah kurang
memerhatikan rakyat bahkan menggusur kepentingan rakyat sehingga petani merasa
tersubordinasi dan termarjinalkan. Dikotomi struktural di tingkat pemerintahan
antara kelas atas dan kelas bawah secara faktual telah memperkokoh hegemoni
elit penguasa terhadap rakyatnya.
Ini bermula dari sebuah paradigma yang dibangun pemerintah
tentang sistem pembangunan yang menekankan pada sektor pertumbuhan ekonomi yang
ditopang oleh investasi modal asing secara besar-besaran, sehingga kegiatan
ekonomi yang menjadi prioritas adalah kegiatan industrialisasi menengah dan
besar yang cenderung mampu mendatangkan devisa. Industri yang dikembangkan
tidak berbasis atau bertumpu pada sektor pertanian di mana sebagian besar
rakyat berada pada sektor ini. Hasil akhirnya sudah kita ketahui secara bersama
bahwa kemudian akses dan aset hanya dimiliki oleh segelintir orang yaitu para
penguasa dan pengusaha.
Dalam konteks ini kebijakan pemerintah tentang pembangunan
pertanian dan pedesaan masih sangat lambat dan kurang perpihak pada petani dan
komunitas desa. Pada intinya kemiskinan petani di pedesaan itu disebabkan oleh
faktor struktural dan institusi sosial. Sehingga petani menjadi korban dari ketidakadilan
struktural, petani tersubordinasi oleh dominasi dan hegemoni pemerintah.
Indonesia merupakan negara agraris, sehingga tidak jarang
konflik yang terjadi di Indonesia adalah konflik dalam hal memperebutkan tanah
sebagai salah satu lahan produksi yang menunjang kehidupan manusia dan
merupakan salah satu faktor penentu kesejahteraan masyarakat di dalam suatu
negara.
Konflik agraris ini bukan hanya terjadi antara individu
dengan individu, individu dengan kelompok, tetapi juga bisa terjadi antara kelompok
dengan kelompok karena sama-sama merasa tanah tersebut menjadi hak kepemilikan
mereka.
Masalah-masalah yang serius dihadapi dalam sektor pertanian
semakin menumpuk di antaranya pemilikan lahan yang semakin mengecil, akses
terhadap input pertanian yang semakin mahal, biaya transaksi yang terus
melambung, dan kelembagaan ekonomi yang tidak pernah berpihak kepada petani.
Akibatnya posisi tawar masyarakat desa sangat lemah terutama waktu menjual
hasil produksi usaha taninya. Mereka selalu berada dalam posisi yang dirugikan
dan menjadikan mereka semakin miskin dan tidak berdaya.
Kondisi demikian semakin tak terelakkan di kalangan petani
pedesaan. Di samping timbulnya masyarakat petani miskin juga akan memperlambat
proses perubahan sosial. Dalam konteks ini perubahan dimaksud yakni: pertama,
adanya deprivasi relatif, yaitu persepsi seorang pelaku atas
kesenjangan antara nilai harapan dan nilai kemampuannya. Ini adalah celah
antara apa yang orang yakini sebagai haknya dan apa yang mereka pikir mereka
mampu memperoleh dan mempertahankannya. Deprivasi relatif seringkali
menyebabkan frustrasi yang mengarah kepada agresi, dan frustrasi ini
menciptakan potensi kekerasan kolektif (agresi). Dalam hal ini deprivasi
relatif merupakan suatu potensi bagi kerjasama kolektif.
Kedua, adanya dislokasi, yaitu perasaan tidak
punya tempat dalam tatanan sosial yang sedang berkembang. Ketiga,
disorientasi, yaitu perasaan seperti tidak punya pegangan atau tujuan hidup
akibat tidak ada lagi yang bisa dipertahankan. Keempat, negativisme,
yaitu perasaan yang mendorong ke arah pandangan yang serba negatif kepada
tatanan yang baru berkembang dengan berbagai sikap tidak percaya, curiga,
bermusuhan, melawan, dan sebagainya. Kondisi demikian yang membuat laju
perubahan sosial cenderung berjalan mundur.
Perubahan itu memang menjadi implikasi logis dari proses
industrialisasi ataupun modernisasi terutama menyangkut proses penyempitan
lahan dan masuknya ekonomi uang ke pedesaan yang mempengaruhi pergeseran
struktur sosial yang dapat disejajarkan dengan proses individualisasi dan
komersialisasi. Masyarakat pada hakikatnya merespons perubahan tersebut
walaupun ternyata respons itu tidak mendapat tanggapan serius dari pemerintah
setempat khususnya dalam menghadapi pihak luar sehingga pada akhirnya hak-hak
mereka menjadi terbatas, kehilangan sumber ekonomi, dan pergeseran nilai-nilai
sosial.
Di samping adanya ketimpangan sosial, ekonomi, juga semakin
meningkatnya angka kemiskinan penduduk desa. Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin di Indonesia memang berfluktuasi dari
tahun ke tahun. Namun pada tahun 2006 jumlah penduduk miskin di Indonesia
sebesar 39,05 juta (17,75 persen). Di bandingkan dengan penduduk miskin pada
tahun 2005 yang berjumlah 35,10 juta (15,97 persen), berarti jumlah penduduk
miskin meningkat sebesar 3,95 juta. Pertambahan penduduk miskin di daerah
pedesaan sedikit lebih tinggi dari pada daerah perkotaan.
B. TUJUAN PENULISAN
Penulisan dari makalah ini bertujuan
untuk mengetahui sistem – sistem kerjasama yang ada pada masyarakat tani serta
konflik – konflik yang terjadi didalam masyarakat tani di Indonesia.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
Teori kerjasama menurut
Roucek dan Warren berarti bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan bersama
dan merupakan suatu proses yang paling dasar. Kerjasama merupakan sutau bentuk
proses social dimana didalamnya terdapat aktifitas tertentu yang duitujukan
untuk mencapai tujuan bersama dengan saling membantu dan saling memahami
terhadap aktifitas masing-masing.
Kerjasama atau belajar
bersama adalah proses beregu (berkelompok) di mana anggota-anggotanya mendukung
dan saling mengandalkan untuk mencapai suatu hasil mufakat. Ruang kelas
suatu tempat yang sangat baik untuk membangun kemampuan kelompok (tim), yang
Anda butuhkan kemudian di dalam kehidupan.
Menurut Soejono
Soekamto (1987: 278) dalam Anjawaningsih (2006) menerangkan bahwa kerjasama
merupakan ”Suatu kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama oleh lebih dari
satu orang. Kerjasama bisa bermacam-macam bentuknya, namun semua kegiatan yang
dilakukan diarahkan guna mewujudkan tujuan bersama.” Sesuai dengan kegiatannya,
maka kegiatan yang terwujud ditentukan oleh suatu pola yang disepakati secara
besama-sama. Misalnya kerjasama dibidang pendidikan, kerjasama ini tentunya
dilakukan oleh orang-orang yang berada dilingkungan pendidikan yang sama-sama
memiliki pandangan dan tujuan yang sama.
Menurut Zainudin
(2009), kerjasama merupakan kepedulian satu orang atau satu pihak dengan orang
atau pihak lain yang tercermin dalam suatu kegiatan yang menguntungkan semua
pihak dengan prinsip saling percaya, menghargai dan adanya norma yang mengatur,
makna kerjasama dalam hal ini adalah kerjasama dalam konteks organisasi, yaitu
kerja antar anggota organisasi untuk mencapai tujuan organisasi (seluruh
anggota). Menurut Nardjana (1994), konflik adalah akibat keadaan dimana keinginan atau kehendak yang berbeda
atau berlawanan antara satu dengan yang lain, sehingga salah satu atau keduanya
saling terganggu.
Menurut Killman dan Thomas (1978),
konflik merupakan
situasi dimana terdapat ketidakcocokan antar nilai atau tujuan-tujuan yang
ingin dicapai, baik yang ada dalam diri individu maupun dalam hubungannya
dengan orang lain. Kondisi yang telah dikemukakan tersebut dapat mengganggu
bahkan menghambat tercapainya emosi atau stres yang mempengaruhi efisiensi dan
produktivitas kerja (Wijono,1993, p.4).
Sehingga dari pengertian konflik diatas dapat disimpulkan
bahwa konflik adalah merupakan suatu keadaan dari akibat adanya pertentangan
antara kehendak, nilai atau tujuan yang ingin dicapai yan menyebabkan suatu
kondisi tidak nyaman baik didalam diri individu maupun antar kelompok.
BAB
III
PEMBAHASAN
A.
Kerja
Sama Dalam Masyarakat Tani
Suatu
usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai
suatu atau beberapa tujuan bersama. Bentuk kerja sama tersebut ber-kembang
apabila orang dapat digerakan untuk mencapai suatu tujuan bersama dan harus ada
kesadaran bahwa tujuan tersebut di kemudian hari mempunyai manfaat bagi semua. Juga
harus ada iklim yang menyenangkan dalam pembagian kerja serta balas jasa yang
akan diterima. Dalam perkembangan selanjutnya, keahlian-keahlian tertentu
diperlukan bagi mereka yang bekerja sama supaya rencana kerja samanya dapat
terlaksana dengan baik.
Kerja
sama timbul karena orientasi orang-perorangan terhadap kelompoknya (in-group-nya) dan
kelompok lainya ( out-group-nya). Kerja sama akan bertambah
kuat apabila ada hal-hal yang menyinggung anggota perorangan lainnya.
Fungsi
Kerjasama digambarkan oleh Charles H.Cooley ”kerjasama
timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan
yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan
pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut;
kesadaran akan adanya kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi
merupakan fakta-fakta penting dalam kerjasama yang berguna”
Dalam
teori-teori sosiologi dapat dijumpai beberapa bentuk kerjasama yang biasa
diberi nama kerja sama (cooperation). Kerjasama tersebut lebih lanjut dibedakan
lagi dengan:
- Kerjasama Spontan (Spontaneous Cooperation) : Kerjasama yang serta merta
- Kerjasama Langsung (Directed Cooperation) : Kerjasama yang merupakan hasil perintah atasan atau penguasa
- Kerjasama Kontrak (Contractual Cooperation) : Kerjasama atas dasar tertentu
- Kerjasama Tradisional (Traditional Cooperation) : Kerjasama sebagai bagian atau unsur dari sistem sosial.
Ada 5 bentuk kerjasama :
- Kerukunan yang mencakup gotong-royong dan tolong menolong
- Bargaining, Yaitu pelaksana perjanjian mengenai pertukaran barang-barang dan jasa-jasa antara 2 organisasi atau lebih
- Kooptasi (cooptation), yakni suatu proses penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi sebagai salah satu cara untuk menghindari terjadinya kegoncangan dalam stabilitas organisasi yang ber-sangkutan
- Koalisi (coalition), yakni kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan-tujuan yang sama. Koalisi dapat menghasilkan keadaan yang tidak stabil untuk sementara waktu karena dua organisasi atau lebih tersebut kemungkinan mempunyai struktut yang tidak sama antara satu dengan lainnya. Akan tetapi, karenamaksud utama adalah untuk mencapat satu atau beberapa tujuan bersama, maka sifatnnya adalah kooperatif.
- Joint venture, yaitu kerjasama dalam pengusahaan proyek-proyek tertentu.
Kelompok Tani sebagai Wahana
Kerjasama
Kelompoktani adalah kelembagaan
petani/peternak/pekebun yang dibentuk atasdasar kesamaan kepentingan, kesamaan
kondisi lingkungan (sosial, ekonomi dan sumberdaya) dan keakraban untuk
meningkatkan dan mengembangkanusaha anggotanya.
Kelompoktani ditumbuhkembangkan dari, oleh dan untuk
petani yang saling mengenal, akrab, saling percaya, mempunyai kepentingan dalam
berusahatani, kesamaan dalam tradisi/pemukiman/hamparan usahatani.
Dalam pengembangannya kelompoktani memiliki tiga
fungsi yaitu sebagai kelas belajar, wadah kerjasama dan unit produksi. Sebagai
wahana kerjasama, usahatani yang dilaksanakan oleh masing masing anggota kelompoktani,
secara keseluruhan harus dipandang sebagai satu kesatuan usaha yang dapat
dikembangkan untuk mencapai skala ekonomi, baik dipandang dari segi kuantitas,
kualitas maupun kontinuitas
Dalam rangka pengembangan kelompoktani sebagai
wahana kerjasama maka
diperlukan
bimbingan dari penyuluh pertanian secara berkelanjutan. Olehkarena itu,
diperlukan materi penyuluhan pertanian yang berkaitan dengan penguatan
kelompoktani sebagai wahana kerjasama.
Dalam rangka
peningkatankemampuan kelompok tani sebagai wahana kerjasama meliputi:
1.
Menciptakan suasana saling kenal, saling percaya mempercayai dan selalu berkeinginan
untuk bekerjasama;
2.
Menciptakan suasana keterbukaan dalam menyatakan pendapat dan
pandangan
diantara anggota untuk mencapai tujuan bersama;
3.
Mengatur dan melaksanakan pembagian tugas/kerja di antara sesama
anggota
sesuai dengan kesepakatan bersama;
4.
Mengembangkan kedisiplinan dan rasa tangung jawab di antara sesame anggota;
5.
Merencanakan dan melaksanakan musyawarah agar tercapai kesepakatan
yang
bermanfaat bagi anggota;
6.
Mentaati dan melaksanakan kesepakatan yang menghasilkan bersama
dalam
kelompok maupun pihak lain;
7.
Menjalin kerjasama/kemitraan usaha dengan pihak penyedia sarana
produksi,
pengolahan pemasaran hasil dan atau permodalan.
A. Konflik dalam Masyarakat Tani
Konflik
merupakan hal yang biasa terjadi di masyarakat sebagai akibat adanya interaksi
sosial antar masyarakat. Penyebab terjadinya konflik antar petani dapat
berupa :
(a)
Kurangnya kesadaran masyarakat untuk mematuhi kesepakatan yang telah dibuat
(b)
Perbedaan pemahaman akan pentingnya kesepakatan yang telah dibuat
(c) Perbedaan sikap dan kepribadian
(d) Perubahan keadaan yang mendadak.
Salah satu konflik yang sering muncul
pada masyarakat tani adalah konflik komunikasi.
Konflik komunikasi dalam bidang pertanian adalah terjadinya suatu
keadaan, dimana komponen-komponen masyarakat tidak berfungsi sebagaimana
mestinya atau terintegrasi secara tidak sempurna. Untuk itu penanganan masalah
konflik komunikasi dalam bidang pertanian dapat mengacu pada teori konflik
dengan penegasan sebagai kumpulan ide dalam memajukan gerakan-gerakan sosial
atau untuk mempertahankan institusi sosial. Ideologi lebih merupakan sebuah
sistem yang menjadi pedoman praktis.
Tiga bentuk ideologi pokok teori konflik yang muncul pada
abad ke-19 diantaranya adalah sosialisme Marxis dan dua jenis
sosial-Darwinisme. Hal ini merupakan hal yang sangat penting dalam memahami
teori konflik untuk membedakan ideologi dengan teori sains. Satu hal lagi dalam
ideologi pokok teori konflik pada abad ke-19 menjadi ranah yang luar biasa dan
masalah-masalah vital karena akhirnya sains sosial dapat mengatasi kondisi ini.
Banyak
faktor yang telah menyebabkan terjadinya konflik komunikasi dalam bidang
pertanian. Misalkan perbedaan pendirian dan keyakinan setiap petani akan
menyebabkan konflik antar individu. Dalam konflik-konflik seperti ini
terjadilah bentrokan-bentrokan pendirian, dan masing-masing pihakpun berusaha
membinasakan lawannya. Konflik tidak selalu diartikan sebagai pembinasaan
fisik, tetapi bisa pula diartikan dalam bentuk pemusnahan simbolik atau
melenyapkan pikiran-pikiran lawan yang tak disetujuinya.
Disamping
perbedaan pendirian, perbedaan kebudayaan maupun perbedaan status sosial dapat
menimbulkan konflik, sehingga memiliki kesenjangan yang relatif besar. Hal
tersebut juga dapat memicu konflik apabila tidak dilakukan komunikasi dengan
baik yang tidak hanya menimbulkan konflik antar individu, tetapi juga antar kelompok
tani.
Kesenjangan tersebut sebagai pemicu terjadinya konflik
komunikasi sehingga upaya penyebarluasan teknologi pertanian mengalami
hambatan-hambatan secara sosial, karena tidak tercapainya kesamaan persepsi
antara komunikator dengan komunikan. Untuk melakukan persamaan persepsi perlu
pengembangan wawasan dengan bobot teori pendukung sebagai upaya saling
pengertian dan pemahaman.
Dalam teori konflik dinyatakan bahwa pola kebudayaan yang berbeda akan menimbulkan pola-pola kepribadian dan pola-pola prilaku yang berbeda pula dalam kelompok tani yang luas, sehingga apabila terjadi konflik-konflik karena alasan ini, konflik-konflik itu akan bersifat luas dan karenanya akan bersifat konflik antar kelompok tani.
Dalam teori konflik dinyatakan bahwa pola kebudayaan yang berbeda akan menimbulkan pola-pola kepribadian dan pola-pola prilaku yang berbeda pula dalam kelompok tani yang luas, sehingga apabila terjadi konflik-konflik karena alasan ini, konflik-konflik itu akan bersifat luas dan karenanya akan bersifat konflik antar kelompok tani.
Kepentingan
yang berbeda-bedapun memudahkan terjadinya konflik. Mengejar tujuan untuk
kepentingan masing-masing yang berbeda-beda, maka kelompok tani-kelompok tani
akan bersaing dan berkonflik untuk memperebutkan kesempatan dan sarana.
Kepentingan agen penyuluhan pertanian, para sumber teknologi (peneliti) dan
kepentingan petani kadang-kadang berbeda dalam hal persepsi terhadap sebuah
program.
Perbedaan pendirian, budaya,
kepentingan, dan sebagainya sering terjadi pada situasi-situasi perubahan
sosial. Dan, perubahan-perubahan sosial ini secara tidak langsung dapat dilihat
sebagai penyebab juga terjadinya konflik-konflik sosial dalam masyarakat.
Perubahan-perubahan sosial yang cepat inilah yang akan mengakibatkan berubahnya
sistem nilai di dalam masyarakat, dan pada akhirnya akan menyebabkan
perbedaan-perbedaan pendirian di dalam masyarakat.
Jadi, konflik dalam pembangunan pertanian pedesaan sebagai upaya menanggulangi keterbelakangan dan kemiskinan petani adalah sebuah proses yang sifatnya disosiatif. Namun, sekalipun sering berlangsung dengan dengan keras dan tajam, proses-proses konflik sering pula mempunyai akibat-akibat yang positif bagi masyarakat. Positif tidaknya konflik tergantung dari persoalan yang dipertentangkan, dan tergantung pula dari struktur sosial yang menjadi ajang berlangsungnya konflik.
Akibat positif dari konflik adalah bertambahnya solidaritas intern dan rasa in-group suatu kelompok tani. Apabila terjadi pertentangan antar kelompok tani, solidaritas anggota-anggota di dalam masing-masing kelompok tani, yang pada situasi normal sulit dikembangkan, akan langsung meningkat pesat saat terjadinya konflik dengan pihak luar. Akibat negatif dari terjadinya konflik yaitu terjadinya peperangan yang akan mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan harta.
Konflik antar kelompok tani juga akan memudahkan terjadinya perubahan dan perubahan kepribadian individu. Apabila terjadi pertentangan antara dua kelompok tani yang berlainan, maka individu-individu akan mudah mengubah kepribadiannya untuk mengidentifikasikan dirinya secara penuh dengan kelompok taninya.
Konflik akan berakhir dengan berbagai kemungkinan. Apabila kekuatan masing-masing pihak yang berkonflik adalah berimbang maka kemungkinan besar akan terjadi usaha akomodasi oleh kedua belah pihak. Akan tetapi, apabila kekuatan yang tengah berkonflik tidak berimbang maka akan terjadi penguasaan (dominasi) oleh salah satu pihak yang kuat terhadap lawannya.
Disamping itu, konflik dapat juga dianggap sebagai salah satu fenomena perilaku yang menyimpang dalam kehidupan bermasyarakat. Yang dimaksud dengan prilaku menyimpang ini adalah prilaku dari masyarakat yang dianggap tidak sesuai dengan kebiasaan, tata aturan atau norma sosial yang berlaku. Secara sederhana, orang dapat dikatakan menyimpang apabila menurut anggapan sebagian besar masyarakat bahwa prilaku atau tindakannya diluar kebiasaan, adat istiadat, aturan, nilai-nilai, atau norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat.
Pemahaman mengenai bagaimana seseorang atau sekelompok tani orang dapat berprilaku menyimpang dapat dipelajari dari berbagai perspektif teoritis. Ada dua perspektif yang bisa digunakan untuk memahami sebab-sebab dan latar belakang seseorang atau sekelompok tani orang berprilaku menyimpang, yaitu perspektif individualistik dan teori-teori sosial. Kedua perspektif ini dalam penerapannya kadang kala tidak dapat dibedakan dengan tegas karena keduanya memiliki penjelasan yang komprehensif dan saling tumpang tindih. Tetapi, sangat baik jika menggunakan kedua perspektif ini untuk menjelaskan fenomena tentang terjadinya penyimpangan. Salah satu teori yang berperspektif sosiologi adalah teori konflik.
Teori konflik lebih menitikberatkan analisisnya pada asal usul terciptanya suatu aliran atau tertib social. Teori ini tidak bertujuan untuk menganalisis asal usul terjadinya pelanggaran peraturan atau latar belakang seseorang berprilaku menyimpang. Perspektif konflik lebih menekankan sifat pluralitik dari masyarakat dan ketidakseimbangan distribusi kekuasaan yang terjadi di antara berbagai kelompok taninya. Karena kekuasaan yang dimiliki oleh kelompok tani-kelompok tani elite, maka kelompok tani-kelompok tani itu juga memiliki kekuasaan untuk menciptakan peraturan, khususnya hukum yang dapat melayani kepentingan-kepentingan mereka. Dalam hubungannya dengan hal ini, maka perspektif konflik memahami masyarakat sebagai kelompok tani-kelompok tani dengan berbagai kepentingan yang bersaing dan akan cenderung saling berkonflik. Melalui persaingan itu, maka kelompok tani-kelompok tani dengan kekuasaan yang berlebih akan menciptakan hukum dan aturan-aturan yang menjamin kepentingan mereka dimenangkan.
Dalam struktur besar atau kecil, konflik dalam suatu kelompok tani dapat merupakan indikator adanya suatu hubungan yang sehat. Pada dasarnya, Coser tidak melihat konflik hanya dalam pandangan negatif saja. Perbedaan antara majikan dan buruh, perawat dan dokter merupakan peristiwa normal yang sebenarnya dapat memperkuat struktur yang terbentuk lewat hubungan-hubungan sosial. Kelompok tani yang memperbolehkan konflik sebenarnya adalah kelompok tani yang memiliki kemungkinan yang rendah dari ancaman ledakan-ledakan yang akan menghancurkan struktur sosial. Di dalam situasi demikian, konflik biasanya tidak berkembang disekitar nilai-nilai inti dan dengan demikian dapat membantu memperkuat struktur. Coser sangat menentang pandangan bahwa tidak adanya konflik dapat dipakai sebagai indikator dari ”kekuatan dan stabilitas suatu hubungan”.
Apa yang disumbangkan Coser dalam bentuk karya tentang konflik dapat digambarkan sebagai fungsionalisme konflik (conflict functionalism). Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa konflik dan konsensus, integrasi dan perpecahan adalah proses fundamental yang walau dalam porsi dan campuran yang berbeda, merupakan bagian dari setiap sistem sosial. Disarikan dari beberapa bahan bacaaN.
Jadi, konflik dalam pembangunan pertanian pedesaan sebagai upaya menanggulangi keterbelakangan dan kemiskinan petani adalah sebuah proses yang sifatnya disosiatif. Namun, sekalipun sering berlangsung dengan dengan keras dan tajam, proses-proses konflik sering pula mempunyai akibat-akibat yang positif bagi masyarakat. Positif tidaknya konflik tergantung dari persoalan yang dipertentangkan, dan tergantung pula dari struktur sosial yang menjadi ajang berlangsungnya konflik.
Akibat positif dari konflik adalah bertambahnya solidaritas intern dan rasa in-group suatu kelompok tani. Apabila terjadi pertentangan antar kelompok tani, solidaritas anggota-anggota di dalam masing-masing kelompok tani, yang pada situasi normal sulit dikembangkan, akan langsung meningkat pesat saat terjadinya konflik dengan pihak luar. Akibat negatif dari terjadinya konflik yaitu terjadinya peperangan yang akan mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan harta.
Konflik antar kelompok tani juga akan memudahkan terjadinya perubahan dan perubahan kepribadian individu. Apabila terjadi pertentangan antara dua kelompok tani yang berlainan, maka individu-individu akan mudah mengubah kepribadiannya untuk mengidentifikasikan dirinya secara penuh dengan kelompok taninya.
Konflik akan berakhir dengan berbagai kemungkinan. Apabila kekuatan masing-masing pihak yang berkonflik adalah berimbang maka kemungkinan besar akan terjadi usaha akomodasi oleh kedua belah pihak. Akan tetapi, apabila kekuatan yang tengah berkonflik tidak berimbang maka akan terjadi penguasaan (dominasi) oleh salah satu pihak yang kuat terhadap lawannya.
Disamping itu, konflik dapat juga dianggap sebagai salah satu fenomena perilaku yang menyimpang dalam kehidupan bermasyarakat. Yang dimaksud dengan prilaku menyimpang ini adalah prilaku dari masyarakat yang dianggap tidak sesuai dengan kebiasaan, tata aturan atau norma sosial yang berlaku. Secara sederhana, orang dapat dikatakan menyimpang apabila menurut anggapan sebagian besar masyarakat bahwa prilaku atau tindakannya diluar kebiasaan, adat istiadat, aturan, nilai-nilai, atau norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat.
Pemahaman mengenai bagaimana seseorang atau sekelompok tani orang dapat berprilaku menyimpang dapat dipelajari dari berbagai perspektif teoritis. Ada dua perspektif yang bisa digunakan untuk memahami sebab-sebab dan latar belakang seseorang atau sekelompok tani orang berprilaku menyimpang, yaitu perspektif individualistik dan teori-teori sosial. Kedua perspektif ini dalam penerapannya kadang kala tidak dapat dibedakan dengan tegas karena keduanya memiliki penjelasan yang komprehensif dan saling tumpang tindih. Tetapi, sangat baik jika menggunakan kedua perspektif ini untuk menjelaskan fenomena tentang terjadinya penyimpangan. Salah satu teori yang berperspektif sosiologi adalah teori konflik.
Teori konflik lebih menitikberatkan analisisnya pada asal usul terciptanya suatu aliran atau tertib social. Teori ini tidak bertujuan untuk menganalisis asal usul terjadinya pelanggaran peraturan atau latar belakang seseorang berprilaku menyimpang. Perspektif konflik lebih menekankan sifat pluralitik dari masyarakat dan ketidakseimbangan distribusi kekuasaan yang terjadi di antara berbagai kelompok taninya. Karena kekuasaan yang dimiliki oleh kelompok tani-kelompok tani elite, maka kelompok tani-kelompok tani itu juga memiliki kekuasaan untuk menciptakan peraturan, khususnya hukum yang dapat melayani kepentingan-kepentingan mereka. Dalam hubungannya dengan hal ini, maka perspektif konflik memahami masyarakat sebagai kelompok tani-kelompok tani dengan berbagai kepentingan yang bersaing dan akan cenderung saling berkonflik. Melalui persaingan itu, maka kelompok tani-kelompok tani dengan kekuasaan yang berlebih akan menciptakan hukum dan aturan-aturan yang menjamin kepentingan mereka dimenangkan.
Dalam struktur besar atau kecil, konflik dalam suatu kelompok tani dapat merupakan indikator adanya suatu hubungan yang sehat. Pada dasarnya, Coser tidak melihat konflik hanya dalam pandangan negatif saja. Perbedaan antara majikan dan buruh, perawat dan dokter merupakan peristiwa normal yang sebenarnya dapat memperkuat struktur yang terbentuk lewat hubungan-hubungan sosial. Kelompok tani yang memperbolehkan konflik sebenarnya adalah kelompok tani yang memiliki kemungkinan yang rendah dari ancaman ledakan-ledakan yang akan menghancurkan struktur sosial. Di dalam situasi demikian, konflik biasanya tidak berkembang disekitar nilai-nilai inti dan dengan demikian dapat membantu memperkuat struktur. Coser sangat menentang pandangan bahwa tidak adanya konflik dapat dipakai sebagai indikator dari ”kekuatan dan stabilitas suatu hubungan”.
Apa yang disumbangkan Coser dalam bentuk karya tentang konflik dapat digambarkan sebagai fungsionalisme konflik (conflict functionalism). Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa konflik dan konsensus, integrasi dan perpecahan adalah proses fundamental yang walau dalam porsi dan campuran yang berbeda, merupakan bagian dari setiap sistem sosial. Disarikan dari beberapa bahan bacaaN.
DAFTAR
PUSTAKA
Ø Hernanto,
F. 1995. Ilmu usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta.
Ø Marzuki S. 2001. Pembinaan kelompok.
Pusat Penerbit Universitas Terbuka.
Jakarta.
Jakarta.
Ø Nazir, M. 1999. Metode
penelitian.Ghalia. Jakarta.
Ø Santoso S. 1992. Dinamika kelompok.
Bumi Aksara Jakarta.
Ø Santoso S. 2004. Dinamika kelompok.
Edisi Revisi Cetakan 1.Bumi Aksara
Jakarta.
Jakarta.
Ø Suhardiyono,
L. 1992. Penyuluhan petunjuk bagi penyuluhan pertanian.
Erlangga. Jakarta.
Erlangga. Jakarta.
Ø Suparman, I. A. 1990. Statistik
sosial.Rajawali pres, Jakarta.
0 comments:
Post a Comment