KUNCI KESUKSESAN PERTANIAN THAILAND
Thailand saat ini merupakan negara pengekspor terbesar
produk pertanian dunia. Ekonomi Thailand bergantung pada
ekspor, dengan nilai ekspor sekitar 60% PDB, dan dari sekitar 60 % dari
seluruh angkatan kerja Thailand dipekerjakan di bidang pertanian.
Disamping Thailand menjadi eksportir besar di pasar dunia, komoditi
pertanian yang dihasilkan adalah beras dengan kualitas super, tapioka,
karet, biji-bijian, gula, ikan dan produk perikanan lainnya, serta ekspor
makanan jadi.
Thailand saat ini sudah unggul dalam produk pertanian
dengan status eksportir atau produsen terbesar dunia untuk
beras, gula, karet, bunga potong, bibit tanaman, palmoil, tapioka,
buah-buahan dan lainnya. Hal ini karena perhatian pemerintah Thailand dalam
meningkatkan pendapatan bagi petani disana relatif tinggi, dan tentunya
didukung model atau sistem pertanian yang baik. Sehingga nantinya akan
menghasilkan kualitas pangan yang sangat baik. Itu sebabnya, negara mengelola
sektor ini secara sangat serius, bahkan didukung riset dan rekayasa teknologi
dengan melibatkan para ahli dan pakar dunia. Melalui hasil riset dan rekayasa
teknologi ini Pemerintah Thailand telah mengambil kebijakan
untuk mengembangkan satu produk pada satu wilayah (one village one commodity)
dengan memperhatikan aspek keterkaitan dengan sektor lain (back word and forward linkage),
skala ekonomi dan hubungannya dengan outlet (pelabuhan).
Akibatnya, tumbuh cluster-cluster (kelompok-kelompok) bisnis, sehingga
masing-masing wilayah memiliki kekhasan sesuai dengan potensi wilayahnya.
Pemerintah Thailand juga memproteksi produk
pertanian dengan memberikan insentif dan subsidi kepada petani. Kebijakan ini telah
mendorong masyarakat memanfaatkan lahan kosong dan tak produktif untuk ditanami
dengan tanaman yang berprospek ekspor. Sistem contract farming yang dipakai
di Thailand berbeda dari yang biasa kita kenal di Indonesia.
Perusahaan melakukan kontrak dengan petani tanpa perlu petani menyerahkan
jaminan. Di Indonesia, umumnya tanah petani menjadi agunan, sehingga kalau petani gagal, tanah mereka akan disita. Kegagalan
petani akan ditanggung oleh negara. Statuta
utama dalam kontrak tersebut adalah perusahaan menjamin harga minimal dari
produk yang dimintanya untuk ditaman oleh petani. Jika harga pasar diatas harga
kontrak, petani bebas untuk menjualnya ke pihak lain. Selain itu
diThailand juga menggunakan model pertanian Hidroponik untuk meminimalisir
penggunaan tanah. Karena, disana kualitas dan kuantitas tanah kurang memadai.
Bisakah Indonesia seperti mereka??? Semua tergantung kepada
kita, pemerintah sebagai ujung tombak perubahan seharusnya menjadikan Thailand
sebagai contoh untuk kemajuan pertanian di indonesia..
0 comments:
Post a Comment