Laporan Pengelolaan Tanaman Perkebunan
TEKNIK BUDIDAYA TANAMAN KARET (Havea
brasiliensis)
Oleh :
Hengki Hermawan (1205101050067)
Fatayatinur (1205101050067)
Irham Maulana (1205101050067)
Gusfa Arlian Putra (1205101050067)
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM, BANDA ACEH
2015
I.
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Indonesia merupakan negera dengan perkebunan karet terluas
di dunia, meskipun tanaman tersebut baru diperkenalkan pada tahun 1864.
Indonesia bersama dua Negara di Asia Tenggara yaitu Malaysia dan Thailand,
sejak tahun 1920-an sampai sekarang merupakan pemasok karet dunia (Yohanis dan
Maskan, 2014).
Tanaman karet merupakan komoditi perkebunan yang penting
dalam industri otomotif. Karet (Hevea brasiliensis) berasal dari
benua Amerika dan saat ini menyebar luas ke seluruh dunia. Karet dikenal di
Indonesia sejak masa kolonial Belanda, dan merupakan salah satu komoditas
perkebunan yang memberikan sumbangan besar bagi perekonomian Indonesia
(Janudianto et al 2013).
Karet merupakan komoditi ekspor yang mampu memberikan
kontribusi didalam upaya peningkatan devisa Indonesia. Sejumlah lokasi di
Indonesia memiliki keadaan lahan yang cocok untuk perkebunan karet, sebagian
besar berada di Pulau Sumatra dan Kalimantan. Perkebunan karet ini memegang
peranan yang penting dalam program pembangunan, khususnya pembangunan sektor
pertanian, karena subsektor ini menjadi tempat bagi petani dalam menggantungkan
hidupnya, sebagai cabang usaha yang berfungsi menciptakan lapangan kerja,
sebagai sumber pendapatan dan devisa non-migas yang sangat diharapkan, dan
secara langsung terkait pula dalam usaha pelestarian sumberdaya alam
(Setyamidjaja, 1993).
Menurut data dari Direktorat Jenderal Perkebunan tahun 2012
luas areal perkebunan karet alam Indonesia mencapai sekitar 3,47 juta ha yang
terdiri atas 2,932 juta ha ( 84,5 % ) areal perkebunan rakyat, 250 ribu ha (
7,2 % ) areal perkebunan besar negara, dan 288 ribu ha ( 8,3 % ) areal
perkebunan swasta. Produksi karet alam Indonesia tahun 2011diperkirakan
mencapai 2,972 juta ton. Angka itu meningkat dari tahun sebelumnya yang
tercacat sebanyak 2,736 juta ton. Jumlah ini masih bisa ditingkatkan lagi
dengan melakukan peremajaan, memperdayakan lahan milik petani dan lahan kosong
atau tidak produktif yang sesuai untuk perkebunan karet.
Karet menempati areal perkebunan terluas ketiga setelah
kelapa sawit dan kelapa. Indonesia
merupakan negara kedua penghasil karet alami di dunia (sekitar 28 persen dari
produksi karet dunia di tahun 2010), sedangkan Thailand sekitar 30 persen. Pengembangan karet
Indonesia dalam kurun waktu 3 dekade adalah sangat pesat. Dalam kurun waktu
lima tahun terakhir, peningkatan ekspor karet cukup signifikan, dari volume ekspor
pada tahun 2002 sebesar 1.496 ribu ton (US$ 1.038 juta)
meningkat menjadi 2.100 ribu ton (US$ 1.457 juta) pada tahun 2009 (Direktorat
Jendral Perkebunan, 2012).
Menurut Janudianto et
al (2013) Sumatra dan Kalimantan adalah daerah penghasil karet terbesar di
Indonesia dengan sentra produksi tersebar di Sumatra Selatan (668 ribu hektar),
Sumatra Utara (465 ribu hektar), Jambi (444 ribu hektar), Riau (390 ribu
hektar), dan Kalimantan Barat (388 ribu
hektar). Sementara Sulawesi Selatan adalah provinsi yang memiliki luas
perkebunan karet terbesar di Sulawesi yaitu sekitar 19 ribu hektar.
Perkebunan karet rakyat biasanya dikelola dengan teknik
budidaya sederhana berupa pemupukan sesuai kemampuan petani. Karet ditanam
bersama dengan pohon-pohon lain seperti pohon buahbuahan (contohnya durian,
petai, jengkol, dan duku) maupun pohon penghasil kayu (contohnya meranti dan
tembesu) yang sengaja ditanam atau tumbuh sendiri secara alami. Sebaliknya,
perkebunan besar dikelola dengan teknik budidaya yang lebih maju dan intensif dalam
bentuk perkebunan monokultur, yaitu hanya tanaman karet saja, untuk
memaksimalkan hasil kebun (Janudianto et
al, 2013).
Tanaman karet tumbuh dengan baik pada daerah tropis. Daerah
yang cocok untuk tanaman karet adalah pada zona antara 150 LS dan 150LU.
Bila ditanam di luar zona tersebut, pertumbuhannya agak lambat, sehingga
memulai produksinya pun lebih lambat.
Menurut Andrian et al
(2014), ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman baik faktor
biotik maupun abiotik. Dua faktor pembatas utama yang mempengaruhi pertumbuhan
dan produksi tanaman adalah ketinggian tempat dan kemiringan lereng.
Karet sangat optimal dikembangkan pada daerah dengan
ketinggian 0-200m di atas permukaan laut, namun sampai ketinggian 600
meter masih dapat ditanami dengan
memilih klon – klon yang sesuai. Elevasi mempengaruhi produktivitas melalui
pengaruhnya terhadap peningkatan frekuensi hujan. Pada ketinggian 380-700 m
dengan jumlah hari hujan > 175 hari, sudah memberikan pengaruh yang kurang
baik terhadap produktivitas tanaman karet (Darmandono, 1996).
Budiman (2012) yang menyatakan bahwa tanaman karet tumbuh
optimal di dataran rendah, yakni pada ketinggian 0 sampai 200 meter di atas
permukaan laut. Makin tinggi tempat pertumbuhannya makin lambat dan hasilnya
lebih rendah. Ketinggian tempat lebih dari 600 meter di atas permukaan laut
tidak cocok lagi untuk tanaman karet. Sangadji (2001) menyatakan bahwa
ketinggian tempat berhubungan dengan suhu dan kelembaban, semakin tinggi suatu
tempat maka suhu akan semakin rendah dan kelembaban semakin tinggi. Hal ini
yang dapat menyebabkan lateks akan lebih cepat membeku sehingga hasil lateks
yang dihasilkan akan lebih rendah. Handoko (1995) menambahkan rata-rata
penurunan suhu udara di Indonesia sekitar 0,50 - 0,60C
tiap kenaikan 100 meter.
Seiring dengan meningkatnya permintaan dunia terhadap
komoditi karet di masa yang akan datang, maka upaya untuk meningkatkan produksi
tanaman karet melalui teknik budidaya yang baik dan benar serta perluasan lahan
tanaman karet merupakan langkah yang efektif untuk dilaksanakan.
Berdasarkan hal tersebut maka teknik
budidaya merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap produktivitas
tanaman karet, sehingga diperlukan penanganan serta budidaya yang benar untuk
mendapatkan produksi yang optimal.
1.2
Tujuan
1. Mahasiswa
dapat merasakan secara langsung melakukan kegiatan pertanian pada suatu
perusahaan atau industri,
2. Mahasiswa
memperoleh pengalaman bekerja di perusahaan atau industri,
3. Mahasiswa
mengetahui cara dan teknik budidaya tanaman karet yang baik dan benar.
1.3
Manfaat
1. Memperoleh pengalaman nyata dalam bidang
budidaya tanaman karet yang berguna untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa.
2. Memperoleh keterampilan dibidang pertanian dan kegiatan-kegiatan yang
berkaitan
dengan budidaya karet.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Klasifikasi Tanaman Karet (Hevea brasilliensis)
Tanaman karet (Hevea brasilliensis) merupakan salah
satu komoditi perkebunan yang menduduki posisi cukup penting sebagai sumber
devisa non migas bagi Indonesia, sehingga memiliki prospek yang cerah. Oleh
sebab itu upaya peningkatan produktifitas usahatani karet terus dilakukan
terutama dalam bidang teknologi budidayanya (Anwar, 2001).
Tanaman karet (Hevea brasilliensis) telah dikenal
orang semenjak abad ke-15 setelah colombus menemukan Benua Amerika. Tanaman ini
termasuk dalam family Euphorbiaccae (Purseglove, 1984). Dikjim and Wehlburg
(1970) menyatakan bahwa tanaman karet merupakan tanaman tahunan yang bercabang
banyak,berdaun lebar,dan tergolong trifoliolate artinnya mempunyai tiga helai
daun,dan tingginya dapat mencapai 15 sampai 26 meter.
Menurut Nazaruddin dan Paimin (1998) klasifikasi botani
tanaman karet adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi :
Spermatophyta
Subdivisi :
Angiospermae
Kelas :
Dicotyledonae
Ordo :
Euphorbiales
Famili :
Euphorbiaceae
Genus :
Hevea
Spesies :
Hevea braziliensis Muell. Arg.
Gambar : Tanaman karet
Tanaman karet ( Hevea brasilliensis Muell Arg ) adalah
tanaman getah-getahan. Dinamakan demikian karena golongan ini mempunyai
jaringan tanaman yang banyak mengandung getah ( lateks ) dan getah tersebut
mengalir keluar apabila jaringan tanaman terlukai (Santosa, 2007). Menurut
Iskandar (1984) bahwa tanaman karet dapat diperbanyak secara generatif (biji)
dan vegetatif. Tetapi perbanyakan dengan biji mempunyai kelemahan antara sifat
keturunan yang dihasilkan tidak sama dengan induk, namun perbanyakan dengan
biji bagi tanaman karet diperlukan untuk penggandaan batang bawah. Untuk
mendapatkan keseragaman dan mempertahan kan sifat yang baik dari
pohon induk, tanaman karet diperbanyak secara vegetatif (Harahap, 1972). Dari
beberapa cara perbanyakan vegetatif dari tanaman karet yang umum digunakan
perkebunan-perkebunan besar di Indonesia (Iskandar, 1984). Karena
memberikan pertumbuhan lebih cepat dibandingkan dengan bibit yang berasal dari
biji (Darjanto,1975).
Daun karet terdiri dari tangkai daun utama dan tangkai anak
daun. Panjang tangkai daun utama 3-20cm. Panjang tangkai anak daun sekitar
3-10cm dan pada ujungnya terdapat kelenjar. Biasanya ada tiga anak daun yang
terdapat pada sehelai daun karet. Anak daun berbentuk eliptis, memanjang dengan
ujung meruncing, tepinya rata dan gundul (Anwar, 2001).
Tanaman karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan
berbatang cukup besar, tinggi pohon dewasa mencapai 15-25 meter. Batang tanaman
biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi diatas. Dibeberapa
kebun karet ada beberapa kecondongan arah tumbuh tanamanya agak miring kearah
utara. Batang tanaman ini mengandung getah yang dikenal dengan nama lateks
(Pujiatno, 2003).
Notosuranto (1976) menyatakan okulasi adalah penyisipan
sebagian kulit yang mengandung mata tunas kebawah kulit tanaman lain yang ada
hubungan botaninya secara dekat, sehingga akan terbentuk tanaman baru yang
menurunkan sifat dari tanaman induk dari mana berasal. Kriteria bibit okulasi
yang baik adalah :
1. Batang bawah okulsi berumur 9-18 bulan,diameter lebih dari
1,3 cm, dan kulit berwarna coklat.
2. Bentuk batang okulasi lurus,setelah pemotongan batang atas
pada posisi 5-10 cm diatas mata okulasi dengan kemiringan 45 derajat.
3. Batang okulasi mempunyai akar tunggang 45 cm dan akar
lateral 5 cm.
Jenis okulasi berdasarkan umur,warna batang bawah dan
batang atas,serta diameter batang bawah ada dua yaitu okulasi hijau dan okulasi
coklat. (Anominus, 2009).
Menurut Napitupulu (1976) bahan tanaman karet yang
diperbanyak dengan cara okulasi dapat berupa stump tinggi, stump mini, dan
stump mata tidur. Balai Perkebunan (1974) stump mata tidur lebih banyak dan
umum digunakan untuk tanaman karet. Mengenai penjelasan Napitupulu (1976) stump
adalah tunggal, artinya bibit yang telah tumbuh dan mempunyai batang dipotong
hingga tinggal tunggul.
2.2 Syarat Tumbuh Tanaman Karet
Pada dasarnya tanaman karet memerlukan persyaratan terhadap
kondisi iklim untuk menunjang pertumbuhan dan keadaan tanah sebagai media
tumbuhnya.
2.2.1 Iklim
Daerah
yang cocok untuk tanaman karet adalah pada zone antara 150 LS dan 150 LU.
Diluar itu pertumbuhan tanaman karet agak terhambat sehingga memulai
produksinya juga terlambat.
2.2.2 Curah hujan
Tanaman
karet memerlukan curah hujan optimal antara 2.500 mm sampai 4.000
mm/tahun,dengan hari hujan berkisar antara 100 sd. 150 HH/tahun. Namun demikian,
jika sering hujan pada pagi hari, produksi akan berkurang.
2.2.3 Ketinggian
tempat
Pada
dasarnya tanaman karet tumbuh optimal pada dataran rendah dengan ketinggian 200
m dari permukaan laut. Ketinggian > 600 m dari permukaan laut tidak cocok
untuk tumbuh tanaman karet. Suhu optimal diperlukan berkisar antara 25̊ C
sampai 35̊ C.
2.2.4 Angin
Kecepatan angin yang terlalu kencang pada umumnya kurang baik untuk penanaman karet.
2.2.5 Tanah
Lahan
kering untuk pertumbuhan tanaman karet pada umumnya lebih mempersyaratkan sifat
fisik tanah dibandingkan dengan sifat kimianya. Hal ini disebabkan perlakuan
kimia tanah agar sesuai dengan syarat tumbuh tanaman karet dapat dilaksanakan
dengan lebih mudah dibandingkan dengan perbaikan sifat fisiknya.
Berbagai
jenis tanah dapat sesuai dengan syarat tumbuh tanaman karet baik tanah vulkanis
muda dan tua, bahkan pada tanah gambut < 2 m. Tanah vulkanis mempunyai sifat
fisika yang cukup baik terutama struktur, tekstur, sulum, kedalaman air tanah,
aerasi dan drainasenya, tetapi sifat kimianya secara umum kurang baik karena
kandungan haranya rendah.
Tanah
alluvial biasanya cukup subur, tetapi sifat fisikanya terutama drainase dan
aerasenya kurang baik. Reaksi tanah berkisar antara pH 3,0 ‐ pH 8,0 tetapi tidak sesuai pada pH < 3,0 dan >
pH 8,0. Sifat‐sifat tanah yang cocok untuk tanaman karet pada umumnya
antara lain :
Ø
Solum tanah
sampai 100 cm, tidak terdapat batu‐batuan dan lapisan cadas
Ø
Aerase dan
drainase cukup
Ø
Tekstur tanah
remah, poreus dan dapat menahan air
Ø
Struktur terdiri
dari 35% liat dan 30% pasir
Ø
Tanah bergambut
tidak lebih dari 20 cm
Ø
Kandungan hara
NPK cukup dan tidak kekurangan unsur hara mikro
Ø
Reaksi tanah
dengan pH 4,5 ‐ pH 6,5
Ø
Kemiringan tanah
< 16% dan
Ø
Permukaan air
tanah < 100 cm.
III.
METODE PELAKSANAAN
3.1 Tempat dan Waktu
Kegiatan Fieldtrip dilaksanakan Perkebunan Rakyat Kabupaten Aceh Barat. Kegiatan ini berlangsung pada tanggal 16 April 2015 mulai pukul 12:00 WIB s/d pukul
14:00 WIB.
3.2 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan yaitu alat-alat tulis yaitu buku, pulpen dan kamera.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah wawancara, observasi
dan quisioner
3.3.1. Metode
interview
Merupakan salah satu pengumpulan data dengan mengadakan wawancara langsung dengan para petani dan para staff Dinas Perkebunan Kabupaten Aceh Besar tentang obyek yang akan diteliti.
3.3.2. Metode observasi
Merupakan salah satu pengumpulan data dengan
mengadakan pengamatan langsung pada obyek yang diteliti.
3.3.3 Metode quisioner dan pencatatan
Metode ini merupakan pengumpulan data dengan
membuat daftar pertanyaan yang ditujukan kepada petani dan Dinas Perkebunan
Kabupaten Aceh Barat..
IV.
PEMBAHASAN
Dalam pelaksanaan penanaman tanaman
karet diperlukan berbagai langkah yang dilakukan secara sistematis mulai dari
pembukaan lahan sampai dengan penanaman.
a. Pembukaan lahan (Land Clearing)
Lahan tempat tumbuh tanaman karet harus bersih dari sisa‐sisa tumbuhan hasil tebas tebang,
sehingga jadwal pembukaan lahan harus disesuaikan dengan jadwal penanaman.
Kegiatan pembukaan lahan ini meliputi :
(a)
pembabatan semak belukar
(b)
penebangan pohon
(c)
perecanaan dan pemangkasan
(d)
pendongkelan akar kayu
(e)
penumpukan dan pembersihan.
Seiring dengan pembukaan lahan ini dilakukan penataan penataan saluran
drainase dalam perkebunan.
Penataan Saluran Drainase
Setelah pemancangan jarak tanam selesai, maka pembuatan dan penataan saluran
drainase (field drain) dilaksanakan. Luas penampang disesuaikan
dengan curah hujan pada satuan waktu tertentu, dan mempertimbangkan faktor peresapan
dan penguapan. Seluruh kelebihan air pada field drain dialirkan pada parit‐parit penampungan untuk selanjutnya
dialirkan ke saluran pembuangan (outlet drain).
b. Persiapan Lahan Penanaman
Dalam mempersiapkan lahan pertanaman karet juga diperlukan pelaksanaan berbagai
kegiatan yang secara sistematis dapat menjamin kualitas lahan yang sesuai
dengan persyaratan. Beberapa diantara langkah tersebut antara lain :
Ø Pemberantasan Alang-alang dan Gulma
lainnya
Pada lahan yang telah selesai tebas tebang dan lahan lain yang mempunyai
vegetasi alang-alang, dilakukan pemberantasan alang‐alang dengan menggunakan bahan kimia antara
lain Roundup, Scoup, Dowpon atau Dalapon. Kegiatan ini kemudian diikuti dengan
pemberantasan gulma lainnya, baik secara kimia maupun secara mekanis.
Ø Pengolahan Tanah
Dengan tujuan efisiensi biaya, pengolahan lahan untuk pertanaman karet dapat dilaksanakan
dengan sistem minimum tillage, yakni dengan membuat larikan antara barisan satu
meter dengan cara mencangkul selebar 20 cm. Namun demikian pengolahan tanah
secara mekanis untuk lahan tertentu dapat dipertimbangkan dengan tetap menjaga
kelestarian dan kesuburan tanah.
Ø Pembuatan teras/Petakan dan
Benteng/Piket
Pada areal lahan yang memiliki kemiringan lebih dari 50 diperlukan pembuatan
teras/petakan dengan sistem kontur dan kemiringan ke
dalam sekitar 150. Hal ini dimaksudkan untuk menghambat kemungkinan terjadi erosi
oleh air hujan. Lebar teras berkisar antara 1,25 sampai 1,50 cm, tergantung
pada derajat kemiringan lahan. Untuk setiap 6 ‐ 10 pohon (tergantung derajat
kemiringan tanah) dibuat benteng/piket dengan tujuan mencegah erosi pada
permukaan petakan.
Ø Pengajiran
Pada dasarnya pemancangan air adalah untuk menerai tempat lubang tanaman dengan
ketentuan jarak tanaman sebagai berikut :
a)
Pada
areal lahan yang relatif datar / landai (kemiringan antara 00 ‐ 80) jarak tanam adalah 7 m x 3 m (=
476 lubang/hektar) berbentuk barisan lurus mengikuti arah Timur ‐ Barat berjarak 7 m dan arah Utara ‐ Selatan berjarak 3 m.
b)
Pada
areal lahan bergelombang atau berbukit (kemiringan 8% ‐ 15%) jarak tanam 8 m x 2, 5 m (=500
lubang/ha) pada teras‐teras yang diatur bersambung setiap 1,25 m (penanaman secara
kontur.
c)
Bahan
ajir dapat menggunakan potongan bambu tipis dengan ukuran 20 cm – 30 cm.
Pada setiap titik pemancangan ajir
tersebut merupakan tempat penggalian lubang untuk
tanaman.
Ø Pembuatan Lubang Tanam
Ukuran lubang untuk tanaman dibuat 60 cm x 60 cm bagian atas , dan 40 cm x 40
cm bagian dasar dengan kedalaman 60 cm. Pada waktu melubang, tanah bagian atas
(top soil) diletakkan di sebelah kiri dan tanah bagian bawah (sub
soil) diletakkan di sebelah kanan. Lubang tanaman dibiarkan selama 1 bulan
sebelum bibit karet ditanam.
Ø Penanaman Kacangan Penutup Tanah
(Legume cover crops = LCC)
Penanaman kacangan penutup tanah ini dilakukan sebelum bibit karet mulai
ditanam dengan tujuan untuk menghindari kemungkinan erosi, memperbaiki struktur
fisik dan kimia tanah, mengurangi
pengupan air, serta untuk membatasi pertumbuhan gulma.
Komposisi LCC untuk setiap hektar lahan adalah 4 kg. Pueraria
javanica, 6 kg Colopogonium mucunoides, dan 4 kg Centrosema
pubescens, yang dicampur ke dalam 5 kg Rock Phosphate (RP) sebagai media.
Selain itu juga dianjurkan untuk menyisipkan Colopogonium caerulem yang tahan
naungan (shade resistence) ex biji atau ex steck dalam polibag kecil
sebanyak 1.000 bibit/ha. Tanaman kacangan dipelihara dengan melakukan
penyiangan, dan pemupukan dengan 200 kg RP per hektar, dengan cara menyebar
rata di atas tanaman kacangan.
c. Seleksi dan Penanaman Bibit
Ø Seleksi bibit
Sebelum bibit ditanam, terlebih dahulu
dilakukan seleksi bibit untuk memperoleh bahan tanam yang memeliki sifat-sifat
umum yang baik antara lain : berproduksi tinggi, responsif terhadap stimulasi
hasil, resitensi terhadap serangan hama dan penyakit daun dan kulit, serta pemulihan
luka kulit yang baik. Beberapa syarat yang harus dipenuhi bibit siap tanam
adalah antara lain :
1.
Bibit
karet di polybag yang sudah berpayung dua.
2.
Mata
okulasi benar-benar baik dan telah mulai bertunas
3.
Akar
tunggang tumbuh baik dan mempunyai akar lateral
4.
Bebas
dari penyakit jamur akar (Jamur Akar Putih).
Ø Kebutuhan bibit
Dengan jarak tanam 7 m x 3 m (untuk tanah landai), diperlukan bibit tanaman
karet untuk penanaman sebanyak 476 bibit, dan cadangan untuk penyulaman
sebanyak 47 (10%) sehingga untuk setiap hektar kebun diperlukan sebanyak 523
batang bibit karet.
Ø Penanaman
Pada umumnya penanaman karet di lapangan dilaksanakan pada musim penghujan yakni
antara bulan September sampai Desember dimana curah hujan sudah cukup banyak,
dan hari hujan telah lebih dari 100 hari. Pada saat penanaman, tanah penutup
lubang dipergunakantop soil yang telah dicampur dengan pupuk RP 100
gram per lubang, disamping pemupukan dengan urea 50 gram dan SP - 36 sebesar
100 gram sebagai pupuk dasar.
d. Pemeliharaan Tanaman
Pemeliharaan yang umum dilakukan pada perkebunan tanaman
karet meliputi : pengendalian gulma, pemupukan dan pemberantasan penyakit
tanaman.
Ø
Pengendalian
gulma
Areal pertanaman karet, baik tanaman belum menghasilkan
(TBM) maupun tanaman sudah menghasilkan (TM) harus bebas dari gulma seperti
alang‐alang, Mekania, Eupatorium, dll sehingga tanaman dapat
tumbuh dengan baik.
Ø Pemupukan
Lakukan pemupukan secara intensif pada
tanaman baik pada kebun persemaian, kebun okulasi maupun kebun produksi, dengan
menggunakan
pupuk urea, TSP, dan KCL. Dosis pupuk disesuaikan dengan keadaan/jenis tanah.
Ø Pemberantasan
gulma
Hama-hama penting yang sering menyerang karet yaitu:
1.
Pseudococcuscitri Pengendaliannnya dengan menggunakan
insektisida jenis Metamidofos, dilarutkan dalam air dengan konsentrasi 0,05 -0,1%.
2.
Kutu
Lak (Laeciper greeni) Dapat
diberantas dengan insektisida Albolinium (Konsentrasi2%) ditambah Surfactan
citrowett 0,025%.
Penyakit-penyakit yang ditemui pada
tanaman karet adalah:
1.
Penyakit
embuntepung, penyakit daun, penyakit jamur upas, penyakit cendawan akar putih dan
penyakit gugur daun. Pencegahannya dengan menanam Klon yang sesuai dengan
lingkungan dan lakukan pengelolaan tanaman secara tepat dan teratur.
2.
Jamur
akar putih, Jamur akar putih (JAP) disebabkan oleh Rigidiporus micropus yang menyerang
akar tunggang maupun akar laterar. Penyakit ini dapat mengakibatkan kematian
tanaman karet yang berumur 2-4 tahun. Cara pencegahannya adalah
dengan membuang sisa tunggul tanaman terdahulu dengan cara pembongkaran, atau
peracunan dengan arborisida berbahan aktif Triklopir. Sedangkan pengendalian
jamur akar putih dengan mengoles, menyiram atau menaburi tanaman sakit
dengan fungisida yang direkomendasikan. (-fz,sst)
e.
Penyadapan
/ Panen
Penyadapan pertama dilakukan setelah
tanaman berumur 5-6 tahun. Tinggi bukaan sadap pertama 130 cm dan bukaan sadap
kedua 280 cm diatas pertautan okulasi. Hal yang perlu diperhatikan dalam
penyadapan antara lain:
Ø Pembukaan bidang sadap dimulai dari
kiri atas kekanan bawah, membentuk sudut 300.
Ø Tebal irisan sadap dianjurkan 1,5 - 2
mm.
Ø Dalamnya irisan sadap 1-1,5 mm.
Ø Waktu penyadapan yang baik adalah jam
5.00 - 7.30 pagi.
Inovasi teknologi tanaman pangan sebagai tanaman sela pada masa tanaman karet
belum menghasilkan (TBM) dapat diterapkan. Pola tanam tanaman pangan
disesuaikan dengan kondisi iklim atau curah hujan, yaitu padi - jagung –
kedelai atau kacang tanah – kacang tunggak atau kacang uci. Tanaman pangan
ditanam berjarak 1 m dari barisan karet, sedangkan tanaman karet ditanam dengan
jarak 6 m x 3 m.
Manfaat inovasi ini adalah: bagi perkebunan rakyat, penerapan pola tanaman sela
ini akan meningkatkan intensitas pemeliharaan kebun, Tanaman sela ditanam pada
lahan gawangan sepanjang tahun, sehingga dapat pula berfungsi sebagai tanam
penutup tanah untuk mengendalikan erosi dan pertumbuhan gulma, Memberikan
pendapatan petani pada masa TBM, dan Memperbaiki struktur tanah. Untuk
mengoptimalkan pendapatan usaha perkebunan karet, telah ditemukan beberapa klon
karet yang unggul dalam menghasilkan lateks dan kayu.
V.
PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Ø Rendahnya
produktivitas perkebunan karet rakyat disebabkan oleh banyaknya areal yang
sudah tua, rusak dan tidak produktif, sehingga diperlukan peremajaan tanaman
karet.
Ø Penggunaan klon
yang unggul dan tahan terhadap serangan organisme pengganggu tanaman merupakan
salah satu cara untuk mendapatkan produktivitas yang tinggi
Ø Rendahnya harga
lateks saat ini menjadi pemicu terjadi perubahan penggunaan lahan dari tanaman
karet ke tanaman kelapa sawit.
5.2
Saran
Sebaiknya dalam
melakukan fieldtrip harus direncanakan secara matang apa tujuan serta hasil
yang ingin diperoleh dengan melakukan studi lapang tersebut, sehingga akan
mendapatkan ilmu yang jauh lebih banyak dan lebih bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Andrian, Supriadi dan P. Marpaung. (2014). Pengaruh ketinggian tempat dan
kemiringan lereng terhadap
produksi karet (Hevea brasiliensis Muell.
Arg.) di Kebun Hapesong PTPN III Tapanuli Selatan. Jurnal
Online
Agroteknologi. 2 (3):
981 – 989.
Budiman, H. 2012. Budidaya karet unggul.
Pustaka Baru Press, Yogyakarta.
Darmandono. 1996. Pengaruh komponen hujan terhadap
produktivitas karet.
Jurnal Penelitian Karet.
13(3):223238.
Direktorat Jendral Perkebunan. 2012. Peningkatan produksi
produktivitas dan
mutu tanaman tahunan.
Kementrian Pertanian. Jakarta.
Handoko. 1995. Klimatologi dasar landasan pemahaman fisika
atmosfer dan
unsur-unsur iklim. IPB, Bogor.
Janudianto, Prahmono A, Napitupulu H, Rahayu S. 2013. Panduan budidaya
karet untuk petani skala
kecil. Rubber cultivation guide for small-scale farmers Lembar Informasi AgFor 5. Bogor, Indonesia
World
Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast
Asia Regional Program.
Marampa, Y. P dan A.F. Maskan
(2014). Analisis kelayakan finansial budidaya
tanaman karet (Hevea
brasiliensis) skala rakyat di Kampung Tering
Seberang Kecamatan Tering
Kabupaten Kutai Barat. Jurnal AGRIFOR 8
(1):1412 – 6885
Sangadji, S. 2001. Pengaruh iklim tropis di dua ketinggian
tempat yang
berbeda terhadap potensi hasil
tanaman soba (Fagopyrum esculentum
Moench.). Tesis. IPB,
Bogor.
Setyamidjaja, D . 1993. Seri budidaya karet. Penerbit
Kanisus. Yogyakarta.