Makalah Teknologi Hortikultura
TEKNOLOGI PRODUKSI BUAH
BUAHAN
OLEH :
KELOMPOK I
ASRATAN ASBA
FAJRIAL LISHA
HENGKI HERMAWAN
IRSAD ADANAN HARAHAP
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM, BANDA ACEH
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Buah-buahan
merupakan bahan pangan yang termasuk penting dan semestinya ada dalam daftar
menu makanan kita sehari-hari. Karena di dalam
buah-buahan tersebut
terkandung sumber nutrisi yang sangat diperlukan oleh
tubuh contohnya vitamin,
mineral dan serat. Banyak masalah kesehatan yang
mungkin timbul akibat kurang
mengkonsumsi buah-buahan. Seperti contoh kekurangan vitamin C dapat menyebabkan
sariawan untuk gejala yang ringan dan
yang terparah adalah scurvy
dan kurangnya mengkonsumsi makanan yang mengandung vitamin A dapat
menyebabkan rabun senja. Oleh karena itu mengkonsumsi buah-buahan adalah mutlak
bagi tubuh dan kesehatan.
Sebagai negara
tropis, Indonesia memiliki aneka tanaman buah yang sangat beragam. Akan tetapi
keragaman tanaman buah di Indonesia tidak didukung dengan produksi buah yang
baik. Hal ini terutama untuk tanaman buah yang berumur panjang atau tahunan,
seperti durian, mangga, rambutan, kedondong, dan sebagainya. Rendahnya produksi
buah di Indonesia mengakibatkan kekurangan pasokan buah. Untuk mengatasi hal
tersebut, maka Indonesia harus mengimpor beberapa jenis buah dari luar negeri,
seperti anggur, apel, durian, jeruk, dan
berbagai jenis buah buahan lainnya.
Mulai tahun 2003, Indonesia harus
membuka pasar dalam negerinya untuk produk ASEAN dan tahun 2020 untuk pasar
dunia, termasuk untuk perdagangan hasil-hasil pertanian seperti halnya
buah-buahan. Beberapa tahun terakhir ini, di pasar swalayan bahkan pasar-pasar
tradisional buah-buahan impor mulai menyaingi buah-buahan lokal. Hal ini harus
diantipasi dengan meningkatkan kemampuan memproduksi buah-buahan tropis yang
berkualitas tinggi dalam jumlah yang memadai, agar dapat menggantikan peran
atau setidak-tidaknya mengurangi konsumsi buah impor. Hal ini selain akan
meningkatkan kemampuan bersaing dengan buah impor di pasar domestik dan
mencukupi kebutuhan gizi, juga akan membuka peluang bagi ekspor buah-buahan
Indonesia.
Pada kenyataannya, sebagian buah-buahan di Indonesia dihasilkan dari
budidaya di pekarangan, dengan teknologi yang relatif sederhana. Tetapi
nampaknya pengusahaan tanaman hortikultura, buah-buahan pada khususnya, secara
intensif dengan pola usahatani berskala besar akan terus berkembang dimasa
mendatang.
Usahatani buah-buahan secara intensif dan berskala besar memerlukan dukungan
ilmu dan teknologi, karena usahatani ini memerlukan investasi yang besar dengan
masa pengembalian yang relatif lama. Beberapa hal teknis agronomis yang perlu
juga mendapat perhatian agar usahatani buah-buahan menarik para usahawan antara
lain adalah: Penyediaan bibit unggul dan jaminan bibit yang dibeli seragam dan
true to type, pemendekan masa tanaman belum menghasilkan, penyediaan teknik
budidaya untuk pengaturan pertumbuhan serta manipulasi pembungaan dan pembuahan
(sehingga diperoleh tanaman yang kompak, produksinya tinggi dan berkualitas,
serta waktu produksinya dapat diatur)
Minat masyarakat terhadap buah –
buahan sangat beragam. Di toko-toko swalayan, kios-kios, dipinggir alan, pasar
umum, dan pedagang kaki lima buah-buahan ini dijajakan dalam bentuk segar
ataupun awetan. Buah dengan kualitas yang
bagus dipilih dan dikemas untuk diekspor. Karena banyak diminati dan tak pernah
sepi dari pembeli, orang-oranag menyebutnya sebagai buah-buahan komersial.
Pertambahan jumlah penduduk, peningkatan taraf sektor
industri dan pariwisata berdampak positif terhadap peningkatan kebutuhan
buah-buahan. Baik itu dalam hal jumlah, mutu, ataupun ragamnya. Di pasar-pasar
domestik pembeli terus mengalir mengkonsumsi komuditi yang pada mulanya diangap
merupakan kebutuhan orang-orang berduit. Bahkan, tidak jarang buah-buahan sudah
laku ketika masih di pohon. Sementara itu prospek buah untuk dijagokan sebagai
komoditi ekspor juga semakin cerah. Negara-negara maju yang cenderung
mengalihkan usaha taninya ke arah industrialisasi merupakan pasar yang semakin
luas untuk menampung ekspor buah-buahan kita.
Hanya saja pada kenyataannya kesempatan ini belum dapat
dimanfaatkan dengan baik oleh pengusaha buah-buahan di Indonesia. Pada usaha
tani yang pada umumnya dilakukan di tanah pekarangan dengan modal kecil
menyebabkan rendahnya produksi.
Sifat tanaman buah yang kebanyakan memerlukan lingkungan spesifik
sebagai tempat tumbuhnya, masa berproduksi yang biasanya dipengaruhi oleh
musim, dan sifat buah itu sendiri yang mudah rusak, merupakan tantangan yang
harus dihadapi dalam usaha tani.
Jika dilihat dari
posisi strategis Indonesia yang berada di daerah tropis, sebetulnya kekurangan
kebutuhan buah dalam negeri tersebut bisa diatasi dengan meningkatkan produksi
buah nasional. Tentu saja para petani harus mengetahui tatalaksana pemeliharaan
yang benar sehingga bisa meningkatkan produksi tanaman buah.
Berdasarkan hal
tersebut, maka perlu dikembangkan teknologi yang mendukung dalam hal produksi
buah buahan di indonesia. Dengan adanya teknologi tersebut, maka kebutuhan akan
buah buahan yang semakin hari semakin meningkat akan dapat terpenuhi dari
produksi petani lokal
B.
Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini
adalah untuk mengetahui teknologi apa saja
yang digunakan dalam menghasilkan buah buahan di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
Pada dasarnya proses produksi buah-buahan meliputi: pemilihan
lokasi, pengelolaan lahan, pemilihan varietas, pemupukan, pengairan,
pemangkasan, pengendalian hama, penyakit dan gulma, induksi pembungaan,
perawatan buah, panen dan penanganan pasca panen. Namun selain itu, ada
beberapa teknologi yang digunakan untuk meningkatkan produksi dari buah buahan
itu sendiri, antara lain perlakuan suhu, perlakuan cahaya, perlakuan kimiawi
dan perlakuan teknis budidaya.
Titik kritis proses pembungaan terletak pada tahap induksi
bunga, yaitu saat terjadi transisi dari fase vegetatif ke fase reproduktif. Pengaturan
pembungaan sangat mungkin dilakukan bilamana mengacu pada dua teori universal
tentang pembungaan seperti yang dikemukaan oleh Bernier, et al., (1985)
yaitu:
a)
inisiasi bunga pada tanaman tidak akan terjadi kecuali
bila dirangsang (diinduksi),
b)
tanaman yang berada pada kondisi yang kurang sesuai
untuk pembungaan menghasilkan satu atau beberapa zat penghambat pembungaan dan
inisiasi bunga akan terjadi bila produksi zat tersebut dicegah.
Berdasarkan teori tersebut, pengaturan pembungaan pohon
buah-buahan dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain dengan stress
air, mengatur suhu udara dan tanah, pemberian nutrisi, aplikasi teknik
ringing/girdling dan strangulasi, dan pemberian zat pengatur tumbuh.
1.
Perlakuan cahaya
a.
Fotoperiodisme
Pada tahun 1920 an, para ahli sains
dari Departemen Pertanian Amerika Serikat yang melakukan penelitian di Beltsville, Maryland mulai meneliti aktivitas
pembungaan pada tumbuhan. Mereka mulai menyadari bahwa pembungaan dimulai oleh
panjang hari. Setelah menanam
tumbuhan dalam rumah kaca, tempat lama penyinarannya dapat diubah secara buatan, mereka membuat kesimpulan bahwa tumbuhan dapat
dibagi menjadi tiga kumpulan:
Ø
Tumbuhan berhari pendek berbunga apabila panjang penyinaran matahari lebih pendek daripada 12 jam. (Contoh tanaman ialah pohon cocklebur, pohon merah (poinsetia, kekwa).
Ø
Tumbuhan berhari panjang berbunga apabila panjang penyinaran matahari lebih panjang dari 12 jam. (Contoh tanaman ialah gandum, barley, bunga cengkeh dan bayam).
Ø
Tumbuhan netral yaitu tumbuhan yang masa pembungaannya tidak bergantung kepada lamanya
penyinaran. (Contoh tanaman ialah tomat dan
timun).
Perlakuan thermoperiodisme adalah suatu perlakuan suhu rendah
secara periodik (tidak kontinyu) pada tanaman yang memerlukan suhu malam yang
lebih rendah dari suhu siang hari dengan interval perbedaan yang lebh nyata.
Misalnya pada tanaman tomat dengan suhu siang hari 23oC dan malam
hari 17oC.\
Cahaya mempengaruhi
pembungaan melalui dua cara, yaitu intensitas cahaya dan fotoperiodisitas
(panjang hari). Intensitas cahaya mempunyai pengaruh yang lebih besar dan efeknya lebih
konsisten dari pada panjang hari. Pengurangan intensitas cahaya akan mengurangi
inisiasi bunga. Foto Petoperiodisitas
mempengaruhi jenis tanaman melalui lama penyinaran terhadap pembungaan
2.
Perlakuan Suhu
a.
Vernalisasi
Vernalisasi
merupakan induksi pendinginan yang diperlukan oleh tumbuhan sebelum mulai
perbungaan. Vernalisasi sebenarnya tidak khusus untuk perbungaan, tetapi
diperlukan pula oleh biji-biji tumbuhan tertentu sebelum perkecambahan. Respon
terhadap suhu dingin ini bersifat kualitatif (mutlak), yaitu pembungaan akan
terjadi atau pembungaan tidak akan terjadi. Lamanya periode dingin haruslah
beberapa hari sampai beberapa minggu, tergantung sepesiesnya.
Spesies semusim pada
musim dingin, dua tahunan, dan banyak spesies tahunan dari daerah beriklim
sedang yang membutuhkan vernalisasi semacam itu agar berbunga. Biji, umbi, dan
kuncup banyak spesies tanaman di daerah beriklim sedang membutuhkan
stratifikasi (beberapa minggu diletakkan dalam penyimpanan yang dingin dan
lembab) untuk mematahkan dormansi. Jadi vernalisasi secara harfiah berarti
membuat suatu keadaan tumbuhan seperti musim semi, yaitu menggalakkan
pembungaan sebagai respon terhadap hari-hari yang panjang selama musim semi
(Gardner,dkk, 1991).
Seterusnya kita
harus mengetahui bahwa suatu
tumbuhan dengan kteria berhari panjang dan
berhari pendek dapat tumbuh pada daerah yang sama. Bayam merupakan suatu tumbuhan berhari panjang yang membutuhkan lama penyinaran selama empat belas
jam, rumput reja merupakan suatu tumbuhan pendek siang dan mempunyai lama penyinaran yang sama. Walau
bagaimanapun, bayam hanya berbunga pada musim panas apabila panjang siang
meningkat sehingga empat belas jam atau lebih, dan rumput reja berbunga pada
musim gugur apabila panjang siangnya berkurang hingga empat belas jam atau
kurang. (Rumput reja harus menjadi matang sebelum dapat berbunga, sebab itulah
tumbuhan ini tidak berbunga pada musim bunga walaupun panjang siangnya kurang
daripada empat belas jam).
Pada tahun 1938, K.
C. Hammer dan J. Bonner memulai eksperimen dengan panjang siang dan malam
buatan yang tidak perlu sama dengan suatu normal, yaitu siang dua puluh empat
jam. Mereka kemudian berpendapat bahwa cocklebur yang merupakan tumbuhan pendek
siang akan berbunga pada waktu gelapnya berterusan selama delapan setengah jam,
tanpa memperkirakan panjang waktu siang. Selanjutnya, jika waktu malam dirubah dengan memberikan cahaya, maka pohon
cocklebur tidak akan berbunga. (Mengganggu panjang waktu penyinaran dengan
kegelapan tidak memiliki arti). Keputusan yang sama juga telah diperoleh bagi
tumbuhan panjang siang. Tumbuhan tersebut memerlukan suatu waktu gelap yang
lebih pendek daripada suatu panjang genting tanpa memperhitungkan panjang waktu
pencahayaan. Walau bagaimanapun, jika suatu malam yang lebih panjang dari
panjang genting diganggu oleh suatu pancaran cahaya yang singkat, maka tumbuhan
siang panjang akan berbunga. Dengan demikian, dapatlah dibuat kesimpulan bahwa
panjang waktu gelap yang mengakibatkan pembungaan, bukannya panjang waktu
pencahayaan. Dalam keadaan alami, jelaslah siang yang lebih pendek senantiasa
berfungsi dengan malam yang lebih panjang, dan begitulah sebaliknya.
Perlakuan vernalisasi adalah
suatu perlakuan suhu rendah (5-10oC) selama jangka waktu tertentu.
Perlakuan ini banyak dijumpai pada tanaman-tanaman yang berasal dari daerah sub
tropis yang dipindahkan ke daerah tropis.
b.
thermoperiodisme
Perlakuan thermoperiodisme adalah suatu perlakuan suhu rendah secara periodik (tidak kontinyu) pada
tanaman yang memerlukan suhu malam yang lebih rendah dari suhu siang hari
dengan interval perbedaan yang lebih nyata. Misalnya pada tanaman tomat dengan suhu siang hari 23oC
dan malam hari 17oC.
3.
Perlakuan
budidaya
a.
Pemangkasan
Pemangkasan merupakan praktik budidaya hortikultura tradisional yang dapat
digunakan untuk merangsang pembungaan. Pemangkasan untuk merangsang pembungaan
dilakukan dengan penjarangan cabang atau ranting agar sinar matahari dapat
masuk secara merata mengenai seluruh bagian tajuk/kanopi tanaman. Daun yang
ternaungi n(shaded) atau tumpang tindih (overlap) antara yang
satu dengan yang lain merupakan daun “parasit” sehingga daun tersebut tidak
berfungsi sebagai penghasil fotosintat, malah mengambil fotosintat dari
daun-daun yang mendapatkan cahaya matahari.
Membuang cabang atau ranting yang tidak bermanfaat akan merangsang
terjadinya transisi dari pertumbuhan vegetatif ke reproduktif, sekaligus dapat
mengendalikan pertumbuhan tanaman yang berlebihan dan mendukung kontinuitas
produksi.
Pada prinsipnya pemangkasan untuk merangsang pembungaan akan berhasil apabila
pemangkasan yng dilakukan dapat meningkatkan akumulasi fotosintat pada tajuk
tanaman sehingga nisbah C:N meningkat. Tinggi rendahnya hasil fotosintesis dan
akumulasi fotosintat ditentukan oleh kapasitas sumber (source strenght) dan
kapasitas sink (sink strenght). Sumber pada umumnya adalah daun, merupakan
organ tanaman yang mampu mengekspor sebagian fotosintat yng dihasilkan.
Sedangkan sink adalah organ tanaman yang memakai dan/atau menampung hasil
fotosintat, misalnya tunas baru, akar, bunga, buah dan daun yang ternaungi.
Kapasitas sumber
meliputi dua aspek yaitu:
a)
aspek kuantitatif
(source size) berkaitan dengan banyak sumber, ditunjukan oleh jumlah daun atau
luas daun
b)
aspek kualitatif
(source activity), berkaitan dengan mutu sumber, yaitu kecepatan
berfotosintesis per satuan waktu per satuan luas daun.
Kapasitas sink
juga terdri dari dua aspek yaitu:
a)
aspek kuantitaif
(sink size) berkaitan dengan kemampuan ruang tersedia untuk menampung
b)
aspek kualitatif
(sink activity) berkaitan dengan kecepatan sink untuk menampung hasil
fotosintesis per satuan waktu.
Pemangkasan cabang, ranting dan daun ternaungi di satu sisi mengurangi
source size sekaligus sink size tetapi di sisi lain menigkatkan source activity
sehingga pada akhirnya meningkatkan akumulasi fotosintat yang terbentuk.
Akumulasi fotosintat ini dapat digunakan sebagai sumber energi untuk merngsang
pembungaan.
b.
Stress air
Salah satu faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap pemunculan
bunga buah-buahan tropika adalah curah hujan. Di Indonesia pada umumnya induksi
bunga pada pohon buah-buahan terjadi secara alamiah pada musim kemarau, karena
mengalami stress air dan bunga muncul menjelang musim hujan. Kondisi kering
memacu pertumbuhan generatif tanaman, sedangkan kondisi basah menyebabkan
pertumbuhan lebih mengarah ke vegetatif. Agar bunga dan buah muncul,
pertumbuhan vegetatif perlu ditekan dengan mengatur pemberian air.
Dilakukan penelitian berdasarkan pengaruh alami dari adanya periode kering
terhadap pembungaan, dan hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa stres air
dapat mempercepat induksi bunga. Beberapa perubahan yang terjadi selama induksi
bunga akibat stres air adalah:
a)
terjadinya
hidrolisis pati menjdai gula sederhana sebagai sumber energi untuk pembentukan
calon mata tunas generatif.
b)
Terjadinya
hidrolisis protein asam amino seperti prolin, triptopan dan phenilalanin yang
diperkirakan berperan dalam induksi bunga
Terjadi penurunan sintesis protein atau aktivias hormon giberelin sehingga
merangsang induksi bunga.
Pengaruh stres air tidak langsung menyebabkan tanaman berbunga, tetapi
menyebabkan terjadinya induksi bunga atau transisi dari fase vegetatif ke
reproduktif. Agar primordia bunga dapat berkembang dan tumbuh menghasilkan
bunga sempurna, tanaman memerlukan lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhannya.
Stres air dapat menginduksi pembungaan karena adanya perubahan perimbangan
produksi hormon giberelin, sitokinin, dan ABA serta meningkatkan nisbah karbon
dan nitrogen pada pucuk.
Stres air menyebabkan produksi hormon giberelin dan sitokinin menurun,
sebaliknya kandungan ABA menigkat. Partisi asimilat pada tanaman yang diberi
stress air juga berperan penting dalam induksi pembungaan. Dalam keadaan stres
air terjadi alokasi asimilat dengan proporsi yang lebih besar untuk memulai
pertumbuhan organ reproduktif.
Pada jeruk perlakuan stres air sedang cukup untuk mendorong terjadinya
induksi pembungaan. Bunga sudah
terinduksi 2 mingu setelah perlakuan stres air, tetapi pertumbuhan bunga yang
cepat dan berembangnya bunga aksilar baru terjadi setelah pengairan kembali
(re-watering).
Peluang keberhasilan panen diluar musim dengan manipulasi stes air menjadi
lebih besar kalau kondisi lingkungan mendukung perlakuan yang diberikan.
Kondisi yang dimaksud adalah selama periode manipulasi stres air berlangsung,
tanaman tidak digangu oleh turunnya hujan dengan maksud agar tanaman mendapat
periode kering yang cukup sehingga meminimalisasi resiko kegagalan.
Di wilayah Indonesia bagian barat yang umumnya beriklim basah dengan curah
hujan cukup banyak, aplikasi teknik manipulasi stres air berbeda dengan wilayah
Indonesia bagian timur yang curah hujannya lebih sedikit.
Didaerah iklim kering tanaman sulit tumbuh, dibutuhkan air irigasi untuk
menghasilkan pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Pemberian air dapat
diatur dengan teknik mikroirigasi sepertio sistem irigasi tetes (drip
irigation) dan irigasi curah (sprinkle irrigation) sehingga resiko gagalnya
pembungaan dan pembuahan diluar musim akibat turunya hujan sangat kecil.
Didaerah basah, agar bunga dan buah muncul, pertumbuhan vegetatif dihambat.
Saluran drainase diatur dengan membuat parit-parit agar air dapat segera
dijauhkan deri pohon. Teknik tersebut perlu dikombinasikan dengan teknik
budidaya yang lain sperti pemangkasan tunas dan pemangkasan akar agar seluruh
asimilat yang terbentuk dari proses fotosintesis dapat dialokasikan untuk
menginisiasi pembentukan bunga dan buah.
Manipulasi pembungaan diluar musim dengan stres air juga bisa dilakukan
dimusim hujan. Hal itu tergambar dari hasil percobaan Pusat Kajian Buah-buahan
Tropika IPB pada tanaman jeruk di Purwerejo (Poerwanto, 2003). Manipulasi stres
air pada musim hujan dilakukan dengan membuat parit drainase sekeliling tanaman
dan lahan di bawah tajuk ditutup dengan mulsa plastik hitam perak. Mulsa
tersebut dibuka 2 bulan setelah perlakuan.
Hasil yang diperoleh, tanaman yang mendapat perlakuan segera berbunga
sedangkan tanaman kontrol tetap tidak berbunga. Tanaman yang diberi perlakuan
tadi menghasilkan 52 tunas bunga dan 48 tunas vegetatif, sedangkan tanaman
kontrol hanya menghasilkan 0,25 tunas bunga dan 58 tunas vegetatif.
c.
Ringing/Girdling dan Strangulasi
Ringing atau girdling adalah pembuatan kulit kayu dengan menguliti atau
membuat pelukaan melingkar pada kulit pohon atau cabang yang akan diinduksi
pembungaannya sehingga menyerupai cincin selebar 2-5mm, tergantung jenis
tanaman dan besar pohon. Sedangkan strangulasi adalah melilit batang atau
cabang dengan kawat. Diameter kawat yang digunakan sesuai dengan tebal kulit
pohon buah yang akan diinduksi pembungaannya.
Perlakuan ringing dan strangulasi dapat menginduksi pembungaan terkait
dengan terhambatnya translokasi fotosintat dari tajuk keakar untuk sementara
waktu sehingga terjadi penumpukan karbohidrat pada bagian tajuk tanaman. Disisi
lain terhambatnya translokasi karbohidrat ke akar menyebabkan akar kekurangan
fotosintat (hungry root) dan respirasi akar menurun sehingga mengganggu
aktivitas akar dalam hal absorbsi air (tanaman mengalami stres air) dan
absorbsi mineral.
Berkurangnya absorsi hara terutama nitrogen akan
meningkatkan nisbah C:N pada pucuk. Disamping itu akar yang mengalami
kekurangan fotosintat mengganggu sintesa hormon, diantaranya giberelin. Stres
air, penurunan giberelin dan peningkatan C:N pada pucukdapat menginduksi
pembungaan. Kandungan giberelin yang rendah dapat menyebabkan tanaman berbunga asil penelitian
menunjukan bahwa perlakuan penghambatan translokasi karbohidrat kebagian bawah
tanaman sperti ringing dan strangulasi mampu meningkatkan akumulasi karbohidrat
di bagian atas tanaman sehingga merangsang pembungaan. Secara umum dari
hasil-hasil penelitian yang ada menunjukan bahwa ringing mengahambat
pertumbuhan vegetatif, merangsang dan mempercepat pembentukan tunas bunga serta
meningkatkan akumulasi pati pada daun.
Keberhasilan strangulasi dipengaruhi oleh banyak faktor,
antara lain waktu/saat dilakukan strangulasi, kondisi tanaman, prosedur dan
teknik strangulasi seperti lama waktu strangulasi dibiarkan, kedalaman
strangulasi, posisi strangulasi, (pada batang atau cabang), dan kondisi iklim
pada saat stragulasi dilakukan.
Demikian juga dengan keberhasilan ringing, disamping
dipengaruhi oleh waktu/saat dilakukan ringing, kondisi tanaman, dan prosedur
atau teknik ringing, hal terpenting yang harus dipertimbangkan adalah lebar
ringing. Menurut Goren & Monselise (1971) ringing pada jeruk hanya baik
dilakukan pada tanaman sehat, karena periode waktu yang diperlukan untuk
membentuk jembatan kalus baru untuk menghubungkan kembali daerah luka yang
di-ringing cukup lama, yaitu selama setahun.
Untuk menghindari efek merusak dari perlakuan ringing dan
strangulasi, perlakuan sebaiknya dilaksanakan sebelum musim kemarau saat
kambium lateral aktif membelah dan kulit mudah dihilangkan.
4.
Perlakuan kimiawi
a.
Zat Perangsang Tumbuh
Penggunaan zat pengatur tumbuh merupakan salah satu cara yang
paling memungkinkan untuk mengatur pembungaan. Terdapat banyak hasil penelitian
menunjukan bahwa pemakaian hormon eksogen ini mampu merangsang pembungaan.
Jenis zat pengatur tumbuh yang paling sering digunakan untuk memacu pembungaan
pada tanaman buah-buahan adalah paklobutrazol.
Paklobutrazol merupakan zat pengahambat tumbuh (growth
retardant), bersifat menghambat biosintesis giberelin yang sudah banyak
dibuktikan sangat efektif menurunkan pertumbuhan vegetatif tanaman sehingga
penggunaan zat tersebut dapat merangsang terjadinya pembungaan. Zat penghambat
tumbuh adalah suatu senyawa organik yang mampu menghambat pemanjangan batang,
meningkatkan warna hijau daun secara tidak langsung mempengaruhi pembungaan,
mengahambat pembelahan dan pembesaran sel pada meristem sub-apikal, tanpa
menyebabkan pertumbuhan yang abnormal.
Zat penghambat tumbuh berfungsi menurunkan aktivitas enzim
proteolitik sehingga degradasi protein menjadi terhambat, menekan laju
respirasi tetapi meningkatkan RNA, protein, sukrosa, pati dan klorofil yang
semuanya menunjang terjadinya pembungaan.
Paklobutrazol dengan rumus empiris C15H20CIN3O menghambat biosintesis
giberelin pada oksidasi entkaurena untuk menjadi asam ent-kaurenoid (Sponsel,
1995).
Selain paklobutrazol, ada beberapa jenis zat penghambat
tumbuh yang diketahui dapat menghambat biositesis giberelin seperti ancimidol,
uniconazol, AMO-1618 dan cyclocel. Mehouachi, et al., (1996) mendapatkan
bahwa giberelin menstimulasi pertumbuhan dan meningkatkan suplai karbon di
pucuk, tetapi sebaliknya paklobutrazol menghambat pertumbuhan dan meningkatkan
jumlah gula tersimpan di pucuk.
Disamping
giberelin, zat pengatur tumbuh sitokinin juga berperan penting dalam
pembungaan. Periode kering merangsang ujung akar mengalirkan sitokinin kepucuk
yang terinduksi sehingga terjadi peningkatan konsentrasi sitokinin pada tahap
diferensiasi. Arteca (1996) melaporkan bahwa pada tanaman Pharbitis nil, sitokonin
berpengaruh secara tidak langsung dalam mendorong pembungaan dengan
meningkatkan translokasi asimilat dari daun ke pucuk yang terinduksi.
Paklobutrazol dapat diserap oleh tanaman melalui daun,
batang, dan akar yang selanjutnya dialokasikan secara akropetal melalui xylem
kebagian tanaman yang lain. Menurut Weaver (1972), paklobutrazol menghambat
produksi giberelin pada meristem sub-apikal kemudian menyebabkan penurunan laju
pembelahan sel sehingga menghambat pertumbuhan vegetatif dan secara tidak
langsung akan mengalihkan asimilat ke pertumbuhan reproduktif yang dibutuhkan
untuk membentuk bunga, buah dan perkembangan buah.
Paklobutrazol dapat diaplikasi pada tanaman melalui dua cara,
yaitu dengan penyemprotan melalui daun (foliar spray) dan melalui tanah
(soil drenching). Aplikasi lewat tanah lebih efektif dibanding lewat
daun dan pengaruhnya dapat bertahan lebih lama. Efek lain dari aplikasi
paklobutrazol dapat meningkatkan kandungan karbohidrat dalam jaringan kayu,
akan tetapi secara tidak langsung dapat meningkatkan biosintesis ABA yang
menyebabkan terjadinya dormansi tunas (Lang, 1994), sehingga aplikasi
paklobutrazol dengan maksud menstimulasi pembungaan perlu dikombinasikan dengan
pemberian zat pemecah dormansi.
Tanaman yang dorman tidak dapat menginisiasi bunga walaupun
tunas bunganya terinduksi. Untuk mengatasi hal tersebut, tanaman yang sudah
terinduksi harus diberi zat pemecah dormansi sehingga dapat mempercepat
munculnya tunas bunga. Kalium Nitrat (KON3) juga diloakukan dapat digunakan
untuk merangsang produksi buah di luar musim. Keberhasilan penggunaan kalium
Nitrat dalam memproduksi buah diluar musim telah dilaporkan oleh Efendi (1994)
pada mangga.
Etepon (asam 2-kloroetil fosfonat) adalah salah satu zat
pengatur tumbuh sintesis yng dikenal dengan nama dagang ethrel. Zat tersebut
larut dalam air, membentuk senyawa etilen, ion klor dan fosfat dlam larutan,
juga dalam jarngan tanaman. Proses pembentukan etilen tersebut adalah hasil degradasi
atau dekomposisi etepon melalui reaksi hidrolisis pada pH netral (Moore 1979).
Etilen adalah zat pengatur tumbuh endogen atau eksogen yang
dapat menimbulkan berbagai respons fisiologis dan morfologis tanaman, antara
lain mendorong pemecahan dormansi tunas, menghambat pembentukan buah,
pembentukan umbi, inisiasi akar, penuaan, mengontrol ekspresi seks tanaman,
merngsang eksudasi (pengeluran getah) dan mengahambat perluasan daun (Moore,
1979).
Etilen dapat memecahkan dormansi karena dapat meningkatkan sintesis
enzim amilase, selulase, PEP karboksilase dan mengiduksi sintesis mRNA
(Salisbury dan Ross, 1992). Peningkatan sintesis enzim amilase dan selulase
menyebabkan gula pentosa meningkat, sedangkan peningkatan enzim, PEP
karboksilase menyebabkan glikolisis meningkat sehingga glukosa dan RNA juga
meningkat.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Berdasarkan
uraian diatas, penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan Teknologi produksi
tanaman buah buahan di indonesia masih sangat rendah dan belum intensif,
sehingga produktivitas buah buahan di indonesia masih rendah.
2.
Salah satu faktor
yang menjadi penghalang produksi buah di indonesia dalam skala besar adalah
pasar yang belum tersedia dengan baik, serta penanganan pasca panen yang belum
memadai.
3.
Teknologi produksi
yang dapat digunakan untuk meningkatkan produksi buah buahan antara lain faktor
budidaya (pemangkasan, pemberian zat kimia) dan faktor lingkungan (suhu dan
cahaya).
4.
Untuk mendapatkan
kualitas, kuantitas dan kontinuitas produksi buah buahan di Indonesia maka
diperlukan teknik budidaya yang intensif serta penggunan teknologi yang lebih
memadai.
sehubungan dengan
topik yang telah diibahas, antara lain :
B.
Saran
Pemerintah
terlebih dahulu harus menyediakan jaminan mulai dari faktor produksi, pengelolaan
serta pasar yang jelas apabila menginginkan produksi buah di indonesia dapat
mencapai produksi yang maksimum serta berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 1999. Pedoman Penerapan
Jaminan Mutu Terpadu Mangga. Badan
Agribisnis Departemen Pertanian. Jakarta.
Agribisnis Departemen Pertanian. Jakarta.
Kernot, I., N. Meurant, R. Holmes, N.
MacLeod, G. Fullelove, and I. Bally. 1998.
Mango Information Kit. Queensland Department of Primary Industry.
Australia.
Mango Information Kit. Queensland Department of Primary Industry.
Australia.
Pusat Kajian Buah-buahan Tropika. 1998.
Desain dan Analisis Investasi
Agribisnis Mangga. PKBT- IPB, Bogor.
Agribisnis Mangga. PKBT- IPB, Bogor.
Pusat Kajian Buah-buahan Tropika. 2002. Riset Unggulan Strategis Nasional:
Pengembangan Buah-buahan Unggulan Indonesia. PKBT- IPB, Bogor.
Pengembangan Buah-buahan Unggulan Indonesia. PKBT- IPB, Bogor.
Turner, C. 2002. ISO 9002 Quality
Certification, Hoticultural Quality Systems,
Approved Supplier Program, & Freshcare. http://www.pir.sa.gov.au
Approved Supplier Program, & Freshcare. http://www.pir.sa.gov.au
0 comments:
Post a Comment